Thursday, June 26, 2008

Sampah

Detik ini, sebentar lagi tinggal hanya menjadi masa lalu, dan masa lalu semsetinya kita perlakukan seperti sampah, dibuang baik baik dengan prosedur yang benar. Seperti sampah juga, jika kita meletakkan masalalu secara sembarangan, maka kita juga harus bersiap untuk memanen berbagai kesulitan, bahkan terkadang tata kelola sampah yang salah bisa menyebabkan sebuah tragedi, bencana celaka. Semestinyalah kita tetap memperrlakukan masa lalu dengan hormat, sebab ia memberi kita jalan menuju apa yang terjadi pada detik kita menyadari bahwa nyawa masih dikandung badan. Betapa beruntungnya kita diberi kesempatan seperti itu. Apapun namanya sampah, sudah kodrat bahwa ia tercipta dari apa yang tidak kita perlukan lagi, tidak kita butuhkan. Masalalu adalah onggokan waktu yang tidak lagi member manfaat langsung untuk saat ini.

Maka dari itu saudara, mari kita lebih berhati hati lagi dalam memproduksi sampah. Selain tata kelolanya harus arif bijaksana, bahan bahan yang kita konsumsi manfaatnya lalu kita sepah menjadi ampas itupun punya andil luar biasa dengan output bermacam macam sampah. Sampah makanan atau daging akan menjadi busuk, sampah biji bijian ada kemungkinan tumbuh menjadi batang pohon, serta banyak karakter sampah lain lagi. Sebagian membekas tak mau musnah oleh waktu. Perilaku yang baik akan mengahasilkan sampah menjadi, simpati, kebahagiaan, kedamaian dan kebaikan pula. Kebaikan, sebagai masalalu ia akan dikenang menjadi sesuatu yang membanggakan bagi kehidupan. Sedangkan perilaku yang buruk akan menebar kemudharatan kemana mana, melahirkan keburukan keburukan baru yang beranak pinak, menebar permusuhan, petaka dan macam macam bencana peradaban, tragedy umat manusia sebagai akibat buruk dari keburukan yang dikonsumsi.

Sampah, masalalu adalah jejak dari cara kita menjalani kehidupan. Dan jejak itu permanen membekas di permukaan bumi, berbaur dengan miliaran jejak lainya yang membentuk satu kesatuan cerita peradaban umat manusia. Kebijaksanaan hati yang tercermin dalam perbuatan dan perkataan selalu bisa menjadi nutrisi penyejuk dari gersangnya ladang budi pekerti dai kebun jiwa banyak orang. Sikap taklim, berdisiplin dan murah hati, rendah hati sejak zaman pewayanganpun sering ditaklukan oleh angkara, nafsu durjana. Kebaikan akan terlihat seperti kalah, tetapi sebenarnya kebaikan tidak mengenal istilah kalah dan menang. Hati yang bijak dan baik tidak menempatkan diri lebih tinggi atau lebih rendah dari umat manusia lainnya, tetapi sejajar dengan penuh rasa hormat dan tenggang rasa, menghargai perbedaan sebagai sebuah keragaman, melestarikan keragaman sebagai asset kekayaan umat manusia sekaligus media belajar lebih banyak lagi tentang kehidupan. Kebaikan hanya menjalani kehidupan seperti yang diamanatkan dan kita sepakati sebalum kita dilahirkan di dunia. Perilaku yang baik adalah semata cerminan dari hati yang baik pula. Dan hati yang baik adalah keaslian yang terjaga dari arus manis dan indah duniawi beracun.

Sebaliknya dalam keburukan sifat, tabiat maupun niat, implikasinya harus negative. Orang lain yang negative, dan menggunakan segala macam cara untuk menciptakan opini umum bahwa diri sendiri adalah positive alias baik. Orang baik tidak melakukan itu, tetapi orang buruk selalu menggunakan itu. Bahan buruk yang yang selesai masa produksinya akan menghasilkan sampah toxid yang bisa merusak kamuradan (tatanan kehidupan – red). Si sampah akan beranak pinak dengan keburukan keburukan baru yang makin tumbuh mengembang dengan pesatnya. Pada akhir masanya, maka seluruh isi kepribadian bagi orang yang membekaskan jejak keburukan adalah keburukan itu sendiri, kerendahan kualitasnya sebagai insan manusia. Dalam hidupnya orang seperti ini akan mendewakan hukum materi, memperdalam ilmu berkilah, menjadi master dalam bidang berbohong secara ilmiah. Akibat dari tingginya ilmu berdusta yang dipraktekkan, maka esensi tentang “tuntunan dasar berperilaku baik” menjadi seolah olah lelucon.

Barangkali ada yang salah dalam pembinaan mental bangsa kita ini. "Agama sebetulnya bisa jadi salah satu filter untuk mencegah kita berbuat buruk. Apapun agamanya, saya yakin jika setiap orang mau menjalankan ajaran agama masing2 dengan baik, tindakan2 dan kejadian2 buruk di negara ini dapat diminimalisir. Sayangnya masih ada saja yang tega menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi ataupun golongan. Dengan dalih agama, orang bisa seenaknya menghancurkan orang lain, atau dengan dalih kebebasan beragama orang bisa seenaknya merasa tidak menistakan agama tertentu. Kalau sudah begini...jadi terlihat bahwa agama baru sebatas tampilan fisik, urusan dengan Tuhan hanya sebatas ritual doa...sedangkan untuk hal lain, agama dipinggirkan dan baru akan di pakai ketika dibutuhkan. Lihat para koruptor...ketika mengambil uang rakyat tidak ingat akan ajaran bahwa mencuri itu dosa, tapi ketika tertangkap dan menjalani proses peradilan...tampilan berubah, begitu agamis. Ah, begitu banyak contoh sampai saya muak sendiri". (dikutip dari opini dahsyatnya Miss Cowet, RI-2 wannabe).

Lalu jika seseorang berperilaku buruk, mungkin karena dulu waktu diperkenalkan kepadanya, agama adalah dogma hitam putih baik dan buruk, dosa dan pahala, surga dan neraka saja. Orang yang baik dan rajin beribadah akan masuk surga, sedangkan orang yang jahat dan berdosa akan masuk neraka. Titik. Sedangkan saudara, surga dan neraka itu konon tidak ada dalam kehidupan di dunia, nanti setelah kita mati dan melewati proses pengadilan akbar di hari kiamat, dimana segala amal perbuatan kita semasa hidup harus kitat pertanggung jawabkan. Jarak antara kehidupan dunia dan akherat tergantung dari tebal tipis keyakinan kita kepada Tuhan Sang Maha Kuasa. Jadi agama adalah urusan manusia dengan Tuhan saja. Oh, ini dia yang salah ternyata! Pemahaman yang tidak menyentuh akar rumput tentang fungsi agama sebagai acuan nilai nilai moral dalam berhubungan dengan segala isi dunia.

Setuju dengan Miss Cowet, wakil presiden republik titik titik, bahwa jika setiap orang mau menjalankan ajaran agamanya masing masing dengan baik, maka hal buruk akan bisa diminimalisir. Sesungguhnya agama diturunkan di dunia sebagai SOP (Standard Operating Prosedure) supaya perilaku manusia lebih tertata dan teratur, intinya agar manusia menjadi baik. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan. Nah, karena agama sebagai produk budaya paling tinggi ini keberadaannya diperuntukkan bagi kemaslahatan manusia, mungkin kita perlu merubah pola kaderisasi generasi baru bangsa ini, bahwa agama tidak semata soal surga dan neraka, tetapi implikasi dan dampak dari pelanggaran dan ketaatan terhadapnya bagi kehidupan umat manusia yang jika kita runutkan adalah semua saudara kita sendiri.

Alangkah indah jika utopia itu menjadi fakta, dimana sampah masalalu setiap manusia tidak menjadikan polusi, apalagi iritasi sebab agama telah berfungsi maksimal sebagai pengendali nafsu duniawi, menjadi guideline agar setiap manusia menjunjung tinggi nilai nilai budi pekerti, perdamaian dan solidaritas tanpa pandang bulu.


Gempol, 080626