Monday, July 10, 2006

My Solitary

Kupunguti kepingan gelisah yang menghambur berlompatan dari matamu yang berkilauan ketika cahaya hari baru melewati kulminasi. Ketidak mengertian tujuan perjalanan mengantarkan begitu banyak kecemasan dan kutampung di pundi pundi ketidak mungkinan yang kupersiapkan sejak berangkat bersama melenyapnya sejuk embun ditimpas matahari pagi tadi. Kejujuran atas beban rasa terpersembahkan sebagai bingkisan, tanpa berharap apapun atas apapun dari semuanya. Membiarkan semua mengalir seperti biasanya ketika diri kehilangan kemampuan untuk menolak apalagi menghentikan apapun yang datang dari delapan penjuru angin. Datanglah semua sesukamu wahai kejadian, ombang ambingkan dan permainkan semampumu emosiku. Engkaupun tahu, aku telah lumpuh layu untuk sekedar memprotes, dan menerima dengan kekuatan adalah perlawanan terakhirku.

Maka bagikupun ini hanya angin musim yang membawaku; tubuh sebutir debu ini terbang lenyap diantara kerlip bintang dan samudera langit. Seperti juga telah kupasrahkan keseluruhan sosokku pada semesta. Aku terlalu kecil untuk engkau pandang dari tempatmu yang megah. Bukankah inipun Supernova biasa yang terjadi hampir setiap hari di planet tak bertuan? Disinilah tempatku, ujung mega yang berjalan pelan tanpa tahu arah tujuan, dengan kaki menjuntai aku tatapi saja kejadian yang berlarian bagaikan penghiburan dari identitas diri yang nisbiah.

Hey…jangan tangisi, sebab aku akan selalu ada dibalik setiap gelap yang engkau tatap. Aku ada disana tanpa pintu dan jendela, diam menatap setiap kejadian dan menterjemahkan suara tawa yang lewat ditelinga sebagai kebahagiaan yang meledak. Aku tak lebih dari benda pasif yang tak mengerti harus berbuat apa ketika apapun harus terjadi dalam pengalaman, dan pada saat yang sama ketidak berdayaan itu menciptakan aku sebagai mahluk keji yang pintar melukai, mencacah dua hati pada detik yang bersamaan. Dua hati? Bukankah ribuan jumlahnya? Ya, berapapun jumlahnya tak terhitung tergantung dari siapapun yang berkehendak menitipkan predikat bersalah sebagai milikku yang sesungguhnya. Bagi kemuliaan hidup orang orang yang berhati mulia aku hanyalah monster mengerikan di peradaban. Maka jangan cemaskan, sebab kegelapan akan sempurna menjadi sinar bagi dunia lamaku. Tak ada kehidupan yang baru, sebab yang baru adalah ketika bunda melahirkanku dengan bekal nyawa segalanya untuk perjalananku.

Lalu aku minta maaf kepada kehidupan kalau adaku hanya menjadi jelmaan dari sebilah pedang ditangan si buta. Maafkan aku atas ketidak bisaanku menjadi malaikat harapanmu, wahai hati . Sungguh semestinya aku tak mengharap diri menjadi sesuatu yang meneduhkan, apalagi menjadi berarti sesuatu bagi siapapun. Entah nanti, entah kapan…




Cubicle, 060705