Friday, March 02, 2007

Gajian yang menyakitkan

(Sepenggal cerita dari jakarta 3)

Dari jauh mukanya berseri seri, tergopoh gopoh menemui mandornya. Hari ini gajian setelah bulan pertama bekerja. Di kepalanya bergumul segala keinginan dan angka angka juga rencana rencana. Ia akan menjadi lelaki dengan uang dikantong sebentar lagi, tak perlu lagi mengutang makan di warung Emak untuk beberapa hari. Ia berencana membelikan anak kesayanganya baju kaus bergambar Sponge Bob yang dikagumi sibocah; sebagai kejutan!

Duduk di depan kursi sang mandor, ia gelisah tak sabar menerima amplop khusus bagi dirinya. Inilah hasil dari satu bulan bekerja, mengumpulkan hari demi hari, menunggu akhir bulan dan gajian. Namanya tertera di amplop putih bersih secerah fikiranya itu, dan tertera di bawahnya deretan angka: Rp. 693.600…!

Tiba tiba dunia terasa gelap, lehernya seperti tercekik, panas dan kering seperti tidak pernah ada cairan melewati selang tenggorokanya. Ia kecewa pada kenyataan, bahwa jumlah yang diterima jauh dari yang diharapkan. Sang mandor menjelaskan dengan bahasa birokrat kecil, formulasi penggajian, aturan pemerintah dan segala macam yang hanya mengiang ditelinga si buruh. Semua harapanya musnah seketika. Baju kaus Sponge Bob untuk anaknya melayang hilang tak ditemukan. Jumlah itu jauh dari cukup untuk biaya hidup, bayar kontrakan, sekolah anak, uang jajan, ongkos kerja setiap hari, uang belanja istri dll. Untuk makan tiga orang nyawa manusia mungkin msih kurang jumlah itu. Bukan itu yang membuatnya terpukul, tetapi kenyataan bahwa ia telah menghabiskan waktu sebulan penuh dengan mengabaikan waktu siang, malam, pagi hari libur. Ia tidak bisa menerima.

Ia tinggalkan meja si mandor dengan perasaan yang seratus delapan puluh derajat kondiisinya dengan ketika dia berangkat beberapa menit yang lalu. Satu detik saja ternyata bisa merubah segala pandangan dan fikiran dalam hidupnya. Tiba tiba ia marah. Marah kepada dirinya sendiri, marah kepada perusahaan yang mempekerjakannya, marah kepada pemerintah negaranya yang tidak becus mengurus kepentingan rakyat jelata, marah kepada Tuhan yang membiarkan orang zalim berkuasa memberinya gaji. Ia diam dalam marahnya, tetapi marah dalam diamnya. Mengutuki apapun yang dijumpai, mengutuki nasib yang diterima di muka bumi.

Di tepi jalan ia menunggu angkot yang ia harap tak pernah akan datang menjemputnya, untuk membawanya ke gang kecil dimana ia dan anak istrinya tinggal mengontrak di rumah orang. Ia tidak punya kata kata untuk disampaikan kepada anak dan istrinya yang menunggu penuh harap. Ia tidak berani menjelaskan nanti jika ia membatalkan ajakan anak kesayanganya untuk makan ayam goreng di mol. Lelaki itu berdiri lesu di bawah pohon Mahoni dengan kepala kosong, dan pandangan yang bolong. Uang di kantong celananya serasa berat ia bawa. sebentar lagi habis terbagi untuk hal hal yang harus dipenuhinya. Sesudah itu entah bagaimana.

Ia tahu ia telah menjadi korban dari ekploitasi manusia, perbudakan gaya baru di zaman modern. Pengetahuanya tidak cukup memberinya kekuatan untuk memberontak dari rasa ketidak adilan yang diarasakannya. Ia sadar bahwa ada orang ada bebearpa orang yang lebih tahu ketimbang dirinya memanfaatkan ketidak tahuanya. Orang yang lebih tahu dari dirinya telah dengan sengaja mengeksploitir kesulitan hidupnya. Dan ia, laki laki itu tak punya pilihan lain selain menghidupi anak istrinya dengan bekerja…

(ungkapan keprihatinan untuk Joni F, Nawi, Suaib, Rukma dkk…)

Nutricia, 070302