“ I am on the way to Bantul, remember when we were here…” pesanmu lewat angin lembut petang ini. Turut terkirim juga senyum lebar dan sorot bening dibalik kaca pelindung mata indahmu. Aku menjelma menjadi si bisu, kehilangan suara dan kata kata, hanya tulisan ini mewakilinya.
Dan angin petang ini telah membangkitkan satu catatan indah tentang hangat sebuah hubungan semasa dulu kita masih bebas berdiri ditengah tanah lapang, saling bergandengan tangan menyimak aliran cerita hidup mencari tujuannya sendiri. Disanalah batang bunga Desember tertanam oleh alam, lalu terpendam hilang dari pemandangan. Ia ditelan hiruk pikuk kehidupan. Hormat dan penghargaankupun ikut larut dalam keterpendaman, menjadi seonggok umbi yang bernafas diam diam didalam kebun rahasia persembunyian yang sempurna.
Sebutir air mata jatuh dari langit keharuan, meluruhkan kebekuan yang mengurung malam. Ternyata aku masih hidup di dalam tanah pekarangan hatimu, terawat meski tak tercatat. Maaf jika tak pernah kuajarkan pandanganmu tentang azas saling memiliki itu, hingga angin menerbangkan kita dalam gelembung yang berbeda ke arah yang berbeda pula.
Dalam ruang sempit ini, raga terbelenggu oleh udara. Sedangkan angan melanglang jauh menembusi awan, memetakan kembali Jogyakarta pada suatu masa. Keruh kali Opak dan riuh stasiun Tugu pernah menjadi catatan diary, dengan bathin yang saling erat berdekapan. Kita yang selalu saling menjaga, dan aku si kerdil yang hanya mampu sembunyi dibalik bayang bayang masa depan, semua lalu menghilang ditelan gelombang kehidupan.
Sebelas tahun sudah jejak terkubur debu dan rerumputan, demikian juga ilalang penyesalan telah tumbuh beranak pinak dalam keseharian, sebab aku tak menuruti nasehatmu untuk berlari dari sekedar keinginan menjadi tameng hidup bagi si pendurhaka, berharap aku jadi martir bagi harga yang telah digadaikan murah.
Petang ini…kenangan memapahku berjalan tertatih menyusuri jalanan khayali, dengan seribu penyesalan dan pengandaian yang sama sama nisbi…
(Sebatang tumbuhan menyembul dari dalam tanah, warnanya merah hanya batang dan sekelopak bunga; tanpa daun. Ia muncul begitu saja dari diamnya yang panjang setelah sekian ribu musim kemarau lewat dipermukaan. Umbian yang tertindih beban tanah telah menjadikanya kawan, bertahan hidup dalam mati suri yang panjang. Putiknya mekar segar merona, mengundang serangga untuk hinggap dan bercengkerama. Sebermula ia adalah sepokok pohon yang daunya luluh lantak ditindas matahari, kering dan mati dimuka bumi. Dan dipermukaan tanah yang menyembunyikan umbinya, tak ada jejak kehidupan yang pernah dilaluinya. Alam seolah melupakanya…ia sang bunga Desember – dinamakan demikian karena menurut Bunda, ia hanya muncul di bulan Desember ketika bumi basah oleh air yang tumpah dari langit)
Gempol, 060526