Tuesday, January 14, 2014

Candi Tawang Alun

Cerita ini akan sedikit berbeda dengan cerita cerita tentang Candi Tawang Alun yang ada di blog blog di internet. Bukan soal legenda tentang empat tokoh; Resi Tawangalun, Putri Alun, Ario Damar dan Prabu Brawijaya II. Kalau soal legenda itu ada punya pendapat sendiri. Jadi begini;

Semua tempat hebat peninggalan sejarah di Indonesia selalu memiliki legendanya sendiri sendiri, mitos yang hidup diantara masyarakat menjadi symbol kearifan sosial sekitar situs situs bersejarah itu. Pesan moral dari mitos itu begitu jelas: jangan merusak. Maka sudah lazim jika situs bersejarah akan ada dan hidup bersama dengan cerita cerita mistisnya. Kisah kisah mistis yang berujung kepada larangan dan keharusan ternyata mujarab sebagai peringatan bagi kalangan masyarakat pada masanya untuk tidak berbuat cela. Cara yang lebih elegan adalah dengan memelihara konstruksi pemahaman bahwa situs situs sejarah masa silam adalah tempat yang dibangun sebagai tempat suci, dan siapapun harus bertanggung jawab kepada kelestarian kesuciannya.

Selayaknya kita menghormati legenda yang hidup bersama keberadaannya; sama seperti legenda legenda lain yang kita temui di situs situs kuno lainnya. Meskipun hanya tersisa tumpukan bata merah setinggi sekitar dua meter dengan lebar masing masing sisi sekitar empat meter, tetapi sisa kemegahannya masih dapat hidup dalam bayangan khayal. Candi itu dibangun diatas perbukitan kecil, ditepian pesisir selat berupa rawa yang kemudian sekarang menjadi tambak tambak bandeng. Bukit kecil tempat candi itu berdiripun tidak kalah menariknya, karena limapuluh meter dari candi, terdapat tanah lapang yang terus menerus mengeluarkan lumpur dengan bau belerang menyengat dari perut bumi. Dan itu sudah terjadi sejak zaman purba. Lumpur itu sama persis dengan yang ada di bekas pengeboran PT Minarak Lapindo yang kemudian jebol tidak terkendali, atau  juga sama dengan pori pori bumi di Bledug Kuwu di Blora. Patut diduga, berdirinya candi tersebut sangat erat hubungannya dengan lumpur hangat yang membentuk comberan comberan dan mengalir menuju tanah rendah. Lokasi perbukitan kecil disebelah candi Tawang Alunpun telah berubah menjadi tempat pemakaman umum bagi masyarakat sekitar Buncitan.

Candi Tawang Alun dibangun pada masa kerajaan Majapahit. Hal itu jelas terlihat dari material bangunan berupa bata merah padat, dengan corak Hindu yang mencuat. Fungsinya adalah sebagai pendarmaan raja, atau tempat untuk pemujaan raja yang sudah mangkat dan juga sekaligus sebagai monument bagi sang raja, juga tempat orang mengheningkan cipta, semedi mendekatkan diri kepda Yang Maha Kuasa. Ini tentang candi candi di Jawa Timur, yang tentu memiliki karakteristik berbeda dengan candi candi di Jawa Tengah (Kecuali candi Cetho di Karanganyar) karena memang candi candi tersebut merupakan cerminan dari pemerintahan yang ada pada saat itu. Candi candi di Jawa Timur cenderung lebih kecil ukurannya dibanding candi candi di Jawa Tengah, namun lebih artistik. Termasuk candi Tawangalun adalah candi candi Hindu dengan ciri yang sangat menonjol. 

Konon, candi Tawangalun dulunya adalah sebuah sumur. Sebagian masih menyebutnya sebagai candi Sumur Windu. Jika demikian, maka besar kemungkinan bahwa candi ini hanyalah salah satu bangunan dari kompleks candi Tawang Alun dan bukan merupakan candi utamanya. Patut diduga, gundukan tanah yang berubah menjadi pemakaman umum disebelah timur candi itulah candi utamanya yang sudah runtuh disikat usia. Kalau diperhatikan, konstruksinya sama persis dengan candi Pari di kawasan Porong Sidoarjo, dimana limapuluh meter dari candi utama terdapat sebuah bangunan candi yang berukuran lebih kecil, bernama candi Sumur. Kedua bangunan candi tersebut dipisahkan oleh jalan, gang dan rumah rumah penduduk, juga pemakaman umum. Hal sama juga dapat ditemui di candi Jabung yang terletak di daerah antara perbatasan Paiton dan Kraksaan di Probolinggo. Besar kemungkinan bahwa candi yang berisi sumur atau sumber air adalah bangunan pendukung untuk mensucikan diri sebelum seseorang melakukan pemujaan dan tirakat di candi utama. Candi itu berlobang ditengahnya, dengan ukuran satu meter persegi. Ada bekas struktur konstruksi undak undakan yang dipakai untuk menaiki perut candi, kemudian parit kecil sebagai penghubung dengan kolam penampungan di pojok candi.

Candi Tawang Alun seperti kebanyakan nasib candi di negeri cantik kita ini, terkesan terabaikan dari perhatian pemerintah. Perawatan yang sekedarnya oleh juru rawat candilah yang sampai sekarang membuatnya bertahan ditepi pemukiman penduduk yang semakin merangsak mendekati kompleks candi. Berada di areal candi Tawang Alun akan sangat mudah merasakan kesegaran udara disana, dengan hamparan tambak tampak di kejauhan; diseberang gundukan tanah makam. Sesekali bau belerang menghampiri indra penciuman, menambah kesan mendalam tentang kejayaan masasilam ketika candi ini masih berfungsi sebagaimana mestinya. Masa dimana nilai nilai kehidupan dipelajari dan dipegang teguh sebagai panutan. Sesungguhnya dari masa lalu kita bisa belajar banyak mengenai kebajikan. Tawang Alun, seperti halnya situs lainnya juga menancapkan kesan mendalam tentang nilai kebijaksanaan masa silam. Sayangnya, sejarah selalu saja memiliki kesamarannya sendiri, oleh sebab berbagai versi yang menyertai dengan tujuannya sendiri sendiri.

Candi Tawang Alun tidak banyak diperhatikan orang, untuk sekedar mengunjungi dan memunjungnya dengan rasa takjub diam diam. Padahal kata Pramoedya, mengetahui sejarah adalah sesuatu yang sangat penting. Dengan mengetahui sejarah, maka manusia akan tahu kemana tujuannya berdasarkan sejarahnya. Tanpa mengetahui sejarah, maka manusia sebenarnya tidak memiliki tujuan yang selaras dengan asal mula kejadian. Teori ini mungkin bisa kita hubungkan dengan kondisi sekitar Sidoarjo yang memiliki kulit bumi yang tipis. Kegagalan PT Lapindo Minarak dan pemerintah membendung limpahan lumpur dari perut bumi terjadi karena pemilik modal dan penguasa lokal mengabaikan sejarah dan karakter alam setempat. Raden Brawijaya telah menandainya dengan membangun candi di salah satu pori bumi, semestinya pengusa masa kini lebih arif dalam membuat kebijakan. Lumpur Porong tidak ubahnya  putusnya mata rantai sejarah peradaban, yang disebabkan semata mata oleh nafsu duniawi manusia; keuntungan materialistik dengan mengabaikan nilai nilai asli tentang alam dan kehidupan.

Candi Tawang Alun, meskipun hanya tersisa reruntuhan batu bata tetapi menandakan keabadian sejarah peradaban manusia. Keberadaannya tidak bisa tergantikan oleh peradaban baru yang berumur pendek. Secanggih apapapun teknologi yang digunakan, reruntuhan Tawang Alun tetap menyimpan jejak sejarah dan menyuguhkan kekaguman diam diam. Hanya keserakahan umat manusia yang mengatasnamakan nafsu saja yang kelak dapat menghapus jejak agung sejarah candi Tawang Alun. Sungguh beruntung bagi sesiapa yang masih bisa menyentuh untuk membaca sisa kemegahan yang hanya bisa terterjemahkan sebagai ziarah. Tawang alun membawa pikiran menyelam jauh kepada kisah kisah masa silam, sebagai pengalaman empiris yang sangat mengagumkan. 


Rewwin, 140209