Friday, July 14, 2006

Bulan di atas empang

Bayangan rembulan mengambang diatas empang, bimbang diayun ayunkan oleh riak kecil pada permukaan air. Angin Selasa malam gelisah mencari persembunyianya, mengoyak ngoyak pucuk daun pisang yang baru menikmati aroma dunia. Di barat daya satu cahaya kecil berkerlip ragu, kata orang itu namanya bintang. Mungkin arwah dari seorang ksatria yang terperangkap di langit hampa. Ia begitu dekat bersama bulan ketika malam sempurna dandanannya. Saat itulah kesadaran datang, bahwa hidup telah dipersatukan hanya dengan selembar kertas usang dan sekaligus merusaknya.

Dunia berputar semakin cepat, tinggal diri berpegangan di gagang daun siapa tahu menjadi bagian dari cerita isinya. Diri harus tetap berdiri sebab jika jatuh akan menimpa mereka yang terlanjur mentahbiskan diri sebagai gantungan kunci, penghias kehidupan mewah milik pribadi. Sesuatu telah mengubah segalanya, dan orang tidak akan tahu apa yang orang lain tahu dan tidak tahu. Kebenaranpun menjadi absurd ditepi empang pada Selasa malam.

Rahasia semestinya tak dibicarakan bahkan kepada angin dan bayangan bulan. Permainan baru dilakonkan, dengan peran sebagai si bodoh yang harus melampaui kemampuan sendiri. Ditepi empang ini hidup tak terasa sebagai ajang rebutan antara kepentingan ingin dan tidak ingin, melainkan untaian waktu yang merubah banyak hal dengan caranya yang ekstrim. Cinta tak bisa dikhianati seperti juga laut, pohon, ataupun misteri lainya. Tetapi dunia dipenuhi dengan orang orang yang berpura pura cacat mental dan bepura pura jadi pelacur menjadi sampah sampah penting yang psikotis, eksotis, dan gelap. Seseorang harus menangisinya…

Sekali lagi angin yang itu itu juga mengusap tatapan mata, empang kumuh menjadi lautan dimana puri putih menjulang ditepi bukit dengan bebungaan yang menghampar menghiasai setiap celah dan lerengnya. Duduk ditepianya dan bulan makin pucat merayap ke barat. Memang demikianlah bumi bernafas sejak jaman paleolitik. Diluar lingkaran empang, orang orang aneh hidup dengan keanehan yang dijadikan kebiasaan. Mereka yang egonya hancur tertimpa ego yang lebih besar lagi. Demikianlah manusian, selamanyapun hanyalah permainan dari teori ego dimana semua berakhir ketika kematian indah datang pada kehidupan yang buruk. Disana burung burung menatap layar lalu jatuh ke bumi, menjelempah mati.

Aroma sampah menyapa pernafasan, mengantar langkah menuju kontrakan dimana kehampaan lain lagi tak terbacakan…Selembar kesan tertempel di dahi tanpa menutup pandangan, bahwa hidup tetaplah yang terbaik untuk didapatkan. Didalamnya berisi kejutan, keajaiban dan keindahan.
(...seekor ikan mati mengapung dalam kepungan remang malam ketika seekor kelelawar terbang melintas cepat diatas bangkainya...)
Season by season, creature by creature, miracle by miracle the epic journey continues…

Dari tepi empang Gempol, pada awal July 2006