Friday, January 15, 2010

Usai Perang

Pesta iblis akhirnya usai. Perang telah selesai. Luka luka diteliti dengan seksama. Korban ditaksir berdasarkan bobot penghargaan atas sebuah hubungan; tak ternilai dengan materi. Duapuluh enam hari musuh mengamuk didalam selimut yang melelahkan berlalu, menyisakan serpihan kebahagiaan yang berserakan pecah berantakan. Air mata kering, sumbernya mati karena dikuras setiap hari. Panas dendam telah menghanguskan hampir ke seluruh aspek kehidupan, bahkan yang tidak berhubungan dengan peperangan. Dimana mana, perang hanyalah memproduksi korban. Sedangkan perang, selalu dimulai dari sebuah pengkhianatan sederhana.

Perempuan yang khianat, laki laki yang khianat. Khianat terhadap janji, khianat terhadap diri sendiri. Manipulasi perasaan atas kuasa nafsu. Dan sudah menjadi ciri wanci, bahwa setiap penghianat pastilah akan di laknat. Laknat dunia akherat sebagai bentuk pemaksaan pertanggung jawaban atas perbuatan yang khianat. Perbuatan khianat yang melahirkan perang, yang menyisakan kerusakan parah untuk waktu yang panjang. Kecacatan permanen terhadap kemapanan emosi yang menganggap sebuah kebahagiaan akan bisa abadi. Sungguh sebuah perang yang mengerikan, ketika ribuan pedang menghambur dari kegelapan; sebuah upaya pengelabuan yang gagal. Itikad yang terkandung didalamnya sudah menunjukkan nilai negatif atas komitmen tali hati.

Sambil menunggu asap gelap tersibak dan terang menjelang, perih perih dihitung dan dirasakan sekali lagi. Badan yang tercacah dengan luka menganga masih bisa ditahankan, tak seberapa sakit dibandingkan dengan nilai harga diri yang dirampok si durjana. Di dalam sepi setelah musuh pergi dengan membawa selimutnya sekalian, sebuah catatan perang ditulis sebagai eksplorasi atas gores demi gores luka yang diderita. Kisah yang akan menceritakan panjang lebar tentang sebuah kepingan peristiwa atas persekutuan yang cidera. Sudah waktunya mengemas impian dan lalu memasang nisan diatas kubur kenangan. Dunia yang beku dan muram menancap di liat dan pekatnya lumpur kekalahan.

Luka luka harus segera disembuhkan dan sisa perang harus segera dibersihkan, keadaan harus segera bisa dipulihkan. Kekalahan harus diterima, sebab para pengacau telah pergi bersembunyi; saling melindungi dan tidak pernah ada tanggungan yang mereka jawab. Pengecut memang selamanya demikian dan akan terus menjadi pengecut sampai akhir zaman. Memang sebaiknya mereka pergi dan tidak kembali, menjauh dari segala bentuk tanggung jawab untuk hidup yang lebih enak, dan untuk dunia yang lebih tenteram dalam persembunyian. Sayangnya, mereka bersembunyi hanya persis didepan mata!

Akhirnya pesta perang para iblis harus selesai. Saatnya menunggu sang waktu menyembuhkan luka, merestorasi hati kemudian membersihkannya dari serpihan beling yang menancap di didnding langit pikiran. Jalan kedepan akan penuh dengan tantangan yang harus dapat diretas sendirian. Tidak akan mudah dan memerlukan kekuatan melebihi rata rata, bahkan hanya untuk sekedar menerima kekalahan. Butuh hati berukuran raksasa untuk dapat menghayati indahnya dikhianati. Toh semua sudah terjadi dan berlalu, menjadi masalalu yang benda mati. Setidaknya manis dan getir perjalanan yang pernah terlewati memberi pelajaran baru tentang isi hidup. Pengalaman memperkaya pemahaman atas nilai sebuah hubungan serta ukuran ketaatan azas tenggang rasa.

Maka ketika perang iblis usai, perang barupun dimulai. Satu kelas lebih tinggi dari perang sebelumnya, karena perang baru adalah bentuk perlawanan dari kebangkrutan nurani oleh sebab terkurasnya cadangan kesabaran. Perang yang lebih bermartabat karena misinya adalah mengembalikan nilai kehidupan kedalam norma peradaban berdasarkan kebijaksanaan. Meneruskan cita cita sederhana; menjadi orang baik dan memenjara dendam yang ibarat Da;jjal. Merapikan kembali segala yang porak poranda, mengenangkan peristiwa ini sebagai satu episode yang telah selesai penayangannya. Sampai hari hari akan berjalan seperti sedia kala...

Bambuapus, 100115 - 0238