Wednesday, January 31, 2007

Konsep Pengelabuan

Ketika kemutlakan warna hitam dan putih dicampurkan dengan komposisi yang seimbang maka akan timbul warna baru yang berwarna kelabu. Sebauh warna yang berisi kebimbangan, penuh ketidak berfihakan atas sebuah kemutlakan dan menciptakan kemutlakan baru, wahana baru dan tentu saja nuansa baru.

Dan ketika kebenaran bercampur aduk dengan kebohongan yang timbul di permukaan kemudian adalah pengelabuan fakta. Mengelabui keyakinan pandangan bahkan sampai kepada tingkat kepercayaan seseorang dengan kebohongan menjadikan kebenaran kehilangan bobot makna. Untuk bisa mengelabui orang lain, orang harus mampu mengelabui diri sendiri dengan melakukan pembenaran atas apa yang seharusnya tidak benar, dilarang oleh nurani dan hati kecil. Karena larangan ini tanpa sanksi, maka pengelabuan bisa berjalan dan dilancarkan tanpa pura pura.

Antara kebohongan dan kebenaran yang berpilin pilin, maka akan timbul pula anak beranak kebohongan dan kebenaran itu sendiri, berpacu dalam arah yang berlawanan dengan kepentingan yang berlawanan dan efek karambol yang berlawanan arah. Kadang kadang tidak akan pernah bertemu, sebab ketika anak anak kebohongan dan kebenaran bertemu, yang terjadi adalah sebuah benturan dahsyat yang mengakibatkan sendi kehidupan menjadi nyeri, bengkak bahkan tidak jarang membusuk.

Untuk mengelabui, yang diperlukan adalah kepercayaan semata. Kepercayaan bisa didapat hanya dengan mengungguli rasa percaya diri si korban dan dengan sedikit kepandaian mengakali bahasa tubuh. Inilah yang sebenarnya disebut sebagai sebuah penipuan. Segala kegiatan menipu orang lain mulanya adalah menipu diri sendiri, membelanjakan sekian persen dari kualitas pribadi untuk tujuan mengaburkan warna kesejatian. Pada akhirnya adalah memaksa si korban untuk percaya dan meyakini bahwa kelabu adalah warna yang hakiki sebagai perwujudan kemutlakan hitam atau putih.

Sebagian orang dibekali dengan cangkang kebodohan ego yang mempertahankan kelicikan dengan sikap kasar dan melupakan hukum malu apalagi tahu diri. Orang seperti ini memang memiliki bakat sejak lepas dari masa kanak kanak untuk menjadi parasit, penghancur apapun yang baik bagi kehidupan dan kehilangan penghargaan atas segala sesutu yang dihasilkan atas nama perjuangan hidup bahkan pengalaman. Tidak ada sesuatupun yang berarti di muka bumi kecuali diri sendiri, itulah semboyan hidup bagi kaum lemah nurani ini. Dianggapnya kehidupan berjalan lancar lancar saja sesuai keinginan pribadinya, menyembunyikan segala persoalan bahkan aib dalam sikap pura pura, dalam kehidupan seolah olah. Kaum lemah nurani seperti ini biasa hidup di habitat bernama kepalsuan, mendewakan benda benda imitasi dan pecinta sinetron sejati. Mereka bahkan sebetulnya patah arang untuk sekedar melihat diri sendiri, sebab tak ada satupun cermin yang dipandang sebagai sebuah kebenaran.

Bahkan ketika kebenaran dijejalkan ke kornea mata, dihempaskan kehadapan muka dengan bukti sedemikan nyatapun pengakuan yang muncul adalah penyangkalan atas kebenaran yang disimpanya sendiri. Tidak jauh beda dengan maling yang tertangkap tangan, maka si pendurhaka seperti ini akan mempergunakan segala daya upaya untuk mempertahankan aksi pengelabuannya dengan satu bisikan setan tentang cerita fiksi. Dia tertipu!

Selalu ada sesuatu yang tersembunyi dan tidak kita ketahui dari hal apaapun di muka bumi, terlebih lagi ketika yang ada didepan pelupuk mata adalah hamparan warna kelabu semata…

Nutricia, usai hujan 070131