Tuesday, May 28, 2019

Larungan


:MP

Dari ketinggian jelajah tigabelas ribu kaki dan terus menurun, pulau tujuan itu nampak seperti seonggok kotoran yang terapung di luasnya air berwarna biru. Kerlap kerlip riak ombak tampak seperti permata yang menyambut pesawat kecil yang terombang ambing dipermainkan altitude. Langit begitu cerah dan biru, awan gemawan mengambang disekitaran seperti kapas dan kembang gula. Warnanya yang putih berlarian ke belakang seolah menyilahkan diri untuk datang mencicipi bumi baru, bumi larungan tanpa masa lalu.

Bandara yang lebih menyerupai airstrip menyambut dengan guncangan dan sedikit kecemasan akan terjadinya celaka diperjalanan. Angin berhembus membawa bau laut menyapu wajah, memperkenalkan diri sebagai tuan baru bagi diri dengan batin kosong melompong yang berkehendak membuang diri ke dalam ketidak tahuan orang orang yang pernah dikenal sebelumnya.

Salam kenal wahai Larungan, bumi kecil tempat masa depan akan terancang dengan hati hati. Luka dan dendam yang tersimpan di hati akan menjadi pengigat abadi dan penghias bagi gemilang yang nanti mungkin menjelang. Kamp kecil menyambut, diiringi oleh sopir penyambut yang langsung memperkenalkan diri begitu kaki menginjak pintu keluar bandara kecil dan sederhana itu.

Berkendara dalam mobil double cabin dan sambil mendengarkan pak sopir berceita tentang tempat tempat, bangunan beratap seng, pagar pagar kawat dan marka marka menunjukkan bahwa inilah areal tambang nickel yang menjadi ladang pangan dan sekaligus arena mengaktualisasikan diri bagi begitu banyak orang, begitu banyak nyawa. Tantangan dan rintangan tidak akan menghalangi, sebab diri datang hanya membawa nyawa yang terbuang.  Betapa sendirinya manusia hidup membawa semua kehidupannya.

Masa lalu telah mati, roboh oleh khianat kekasih hati, sebuah istana batin yang runtuh sekali sentuh oleh dia yang paling memahami cara menyakiti. Catatan catatan kekaguman dan kesetiaan telah berubah menjadi duri duri pengingat sakit hati yang tidak akan tercabut sampai akhir hayat nanti. Perihnya melebihi perih dari kulit yang tergores oleh pisau cutter pada saat kepala hanya berisi api. Amarah yang membuncah setiap siang malam bahkan sampai ke alam mimpi menjadi rahasia paling pribadi yang tidak satu orangpun yang akan mengetahui. Luka itu dibawa dari pertarungan diam yang sangat panjang, dicetuskan oleh penghianatan yang diulang oleh malaikat yang dulunya menolong ketika mulut tak kuat lagi mengerang kesakitan.

Alam baru yang serba asing seolah tunduk oleh diri yang tak lagi berpribadi, tak ber masalalu dan tak punya harga selain nyawa yang dibawa. Hewan dan tumbuhan seperti memaklumi keadaan diri yang polos tanpa tendensi. Akulah orang baru yang terlahir dari badai yang menderu. Masalaluku telah mati bersama dengan orang orang yang tercintai. Hanya badan dan kaki sedikit pincang yang akan bertahan mempertaruhkan nyawa demi masa depan. Akulah manusia baru di bumi Larungan, yang berharap dari puing ingatan akan tumbuh dunia baru dengan harapan harapan baru dan mimpi mimpi yang baru. Duka lara kusimpan dalam diam, kujadikan kenangan paling kelam dalam sejarah kehidupan.

O, Larungan yang cantik, sebentar lagi akan menjadi surga tak bertuan dimana aku akan menjadi raja bagi diri dan keinginganku sendiri. Persetan dengan semua yang datang hanya untuk menyakiti sesudah sekian tumpuk kesetiaan tercatat rapi. Kesedihan yang terbawa akan mejadi alas tidur diam diam dimana tak seorangpun akan dapat mengeja kisahnya. Semua terkubur hanya dalam ingatan meskipun sesekali menyeruak berontak dari otak di dalam mimpi yang samar samar, didalam tangisan tak sadar yang liar.

Luka dari seluruh luka, sakit dari semua sakit terbawa dalam dunia diam. Erangan dan jerit kesakitan harus ditahankan demi menerima dan menjalani takdir yang diciptakan para durjana. Kekecewaan dan kesedihan harus ditahankan dan dirahasiakan oleh sebab mustahil dapat melupakan. Malaikat kecil berambut ikal, yang telah berubah menjadi iblis keji tidak akan dapat berubah jadi malaikat lagi. Hati yang terlalu dalam mencintai telah terlanjur koyak dan bernanah kini. Koreng dalam jiwa masih membiru ketika langkah kaki menapaki halaman kantor tempat satu satunya diri merasa diterima dan ada; disini di tempat yang jauh dimana tidak seorangpun tahu: Larungan.

Pulau Larungan akan berarti pula menjadi obituari yang bermakna pulau Kabar Duka,  akan menjadi bumi baru tempat semua masalalu terpendam rapi dalam api abadi dalam hati. Pulau itu tidak terlalu besar, tidak ada kota yang ada hanya rumah rumah penduduk beratap seng disepanjang tepi pantai yang landai. Kapal ferry datang setiap tiga kali dalam seminggu untuk mengantar perbekalan dan sarana transportasi. Pesawat rintis akan datang dua kali dalam sebulan yang lebih banyak digunakan charter oleh perusahaan tambang yang seolah seenaknya sendiri mengeksploitasi bumi kecil Larungan.

Mercu suar tempat kantor baru berdiri sendirian sejak zaman Belanda. Berdiri tegak dan tegar selama puluhan tahun kesendirian. Aku ingin belajar dari keteguhan sang suar, atas kesetiaanya kepada alam dan memberi kebaikan bagi kehidupan para pemakai jalur pelayaran. Ditempat itu hanya sepi dan isi hati yang berbincang tanpa henti. Jutaan kata kata dan kalimat akan tersusun dalam berjilid jilid kisah indah tentang cinta yang tak pernah terjadi di dunia nyata. Kisah kisah tragis tentang penghianatan dan sakit hati akan tertoreh dengan indah hingga tak seorangpun pembaca akan menyaadari betapa dalam luka yang diderita sang penulisnya.

Inilah manusia kosong berbatin compang camping yang melarungkan diri ke tempat paling sepi. Berharap suatu saat disinilah dia akan bertemu mati. Kehidupan nun jauh diseberang akan tetap dipelihara sebagai kewajiban menjadi manusia. Sementara, jiwa yang merana melarungkan diri ke tempat yang tanpa alamat. Satu dua orang sahabat telah menjadi kerabat yang tak tertandingi. Kepada mereka tertitip pesan agar jasad tanpa nyawa milik diri seorang kelak dapat dipulangkan ke hangat dan damai pangkuan bunda di kampung halaman dan tak perlu kenangan khusus atasnya; cukup menuliskan nama di batu nisannya.



Bambuapus 190312

Saturday, May 25, 2019

Perang Fiksi

: MP

Ibaratkan badan, kamu adalah tangan kanan sedangkan aku adalah tangan kiri. Tangan kanan menggenggam belati tajam, mamiliki daya serbu dan daya  rusak sedemikan kejam. Tangan kanan lebih dominan. Sedangkan aku adalah tangan kiri. Tidak terlalu banyak fungsi kecuali melengkapi keperluan tangan kanan. Tugasku melindungimu,  menangkis serangan dan menyokong tangan kanan jika membutuhkan. Tugasku hanya memberimu keseimbangan dan pemenuhan atas segala yang kau butuhkan.
Suatu hari tanpa sebab, aku kau lukai dengan belatimu yang selalu terhunus. Dilukai begitu saja tanpa kamu merasa seolah rasa sakit itu ada. Nyerinya sampai ke tulang seketika, perihnya melumpuhkan hampiir seluruh kehidupanku. Aku jatuh pingsan dihantam kenyataan. Ketika siuman, badanku sudah penuh luka goresan. Darah menyembul dari kulitku yang koyak lalu mengering di tempat, menegaskan garis garis sayatanmu. Aku mungkin sekarat, tak sanggup mengangkat martabat yang kau tumbangkan. Duniaku hilang seketika, berganti dengan kebingungan yang membingungkan bingung. Matahariku padam saat itu juga.
Hingga kemudian kutemukan gudang setan, tempat demons hidup dan beranak pinak. Kutemukan ruang ruang kenyataan masalalu yang melulu  berisi perihnya dicurangi; sakitnya dikhianati. Aku kecewa karena kamu sampai hati menyakitiku. Aku kecewa karena aku kira akulah rekan terbaik dalam hidupmu, seperti aku menganggapmu sebagai bagian dari kehiduapnku, bagian dari duniaku. Tetapi yang membuatku paling kecewa adalah bahwa telah kau serahkan kerhormatanmu yang selalu kujaga kepada tubuh lain. Aku kecewa dan mengutuk diriku sendiri karena tidak bisa menjagamu dengan baik. Tetap tidak bisa kumengerti alasan sebab kamu tega menikamku, justru pada saat aku tengah mendukung perjuanganmu. Aku sangkakan aku pendukung tunggalmu, hingga kusembunyikan letihku darimu hanya agar kamu tidak mencemaskanku. Kecemasan itu adalah bagianku, bahkan cita cita rahasiaku adalah mengadopsi semua kecemasanmu. Tapi aku kecewa kamu menghianati ketulusanku.
Kuratapi lukaku penuh penghayatan. Aku berada di level paling bawah, paling dasar ketidak berdayaanku melawan. Seluruh persediaan kekuatanku  sudah kukerahkan, mencengkeram ledakan sakitku dalam pikiran. Hidupku menjadi berantakan. Langkahku menjadi tanpa arah (atau, barangkali memang aku tidak pernah melangkah).  Aku hanya tinggal punya nyawa saja. Aku merasa tidak layak berada di dunia tanpa cahaya ini. Sakit yang kau beri telah berporses menjadi koreng menganga berwarna biru, merah dan hitam kotor. Lukanya membengkakkan bagian lengan yang tak terluka disekitarnya. Rasa sakitknya menyebabkan kesakitan ke seluruh kitaran kehidupan tangan kiriku, bahkan sampai ke seluruh badan –mungkin termasuk kamu. Lukaku dapat kau lihat dan kamu bisa berempati. Tetapi sebenarnya hanya aku yang bisa merasakannya sendiri, menerima dan menjalaninya sendiri. Kamu tidak akan pernah bisa merasakan karena yang terluka adalah aku, bukan kamu.
Kamu tahu tentang luka? Setiap luka adalah gerbang terbuka bagi masuknya bakteri maupun virus yang bertebaran tak kasat mata. Macam macam virusnya, tetapi akan lebih mudah untuk menginventarisir akibatnya. Virus dan bakteri berbahaya dan mematikan dapat masuk ke seluruh badan melalui luka yang kamu buat ini. Perjalanan kuman dalam badan akan menyebabkan berbagai penyakit mengerikan yang pernah kita dengar di dunia kedokteran. Bahkan konon luka terbuka juga dapat menyebabkan infeksi yang bisa menyebabkan kematian atau minimal amputasi.
Kamu adalah bagian dari ruh diniaku, tidak mungkin aku akan sanggup menyebabkanmu sakit atau sedih. Tugasku adalah melindungimu! Kutahankan sakitku sekuat kuatku. Bukan sakit pada luka terbuka buatanmu, tetapi sakitku meladeni pikiran pikiran buruk yang datang tak kenal waktu  dan tak kenal berhenti. Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu hingga kamu sampai hati melukaiku. Pertanyaanku tentang mengapa kamu lakukan itupun hanya membentur di udara, tidak menemukan jawaban logisnya. Begitu banyak argumentasimu bahkan kepada hal hal yang berniat membuatku merasa diunggulkan olehmu, tetapi toh kenyataanya kamu memutus urat nadiku karena lalai pada keberadaanku. Secara template sudah semestinya kamupun turut menjaga dan memelihara sinergi kita, bukan malah meremukkannya. Aku menyesalkan apa yang sudah kamu lakukan; bukankah sudah berulang kukatakan untuk tidak lagi memberiku kejutan buruk bagi hidupku?
Lukaku masih bernanah, menjijikkan bagi siapa saja yang melihatnya. Engkaupun pasti malu memiliki partner seperti keadaanku sekarang. Hari hariku muram oleh menekan perang fiksi yang terus saja terjadi. Perang dalam pikiran antara kemauan hati dan nasehat bijak dari logika. Perang itu semakin meriah saja dengan banyaknya rahasia yang kamu sembunyikan dariku selama dua tahun keparat itu. Selama itu pula setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari engkau dustai aku. Dan selama itu pula setiap detik, setiap menit, setiap jam dan setiap hari aku memujamu, menempatkanmu di tempat paling istimewa dalam batinku. Tetapi rupanya engkau memilih nyaman dengan mendustaiku.
Perang fiksiku telah meluluh lantakkan kebanggaan dan harga diriku. Seluruh pencapaian dan kebanggaanku telah runtuh dan sia sia bersama penghianatanmu. Aku telah menjadi cacat oleh sebab apa yang kau perbuat. Aku terpuruk dalam ketidak berdayaan yang gelap tanpa cahaya, dan kamu enteng saja menganggap semua hanya masa lalu  belaka.
Harus kuterima dan kujalani semua seperti pintamu, seperti rencanamu. Sayatan hanya akan meninggalkan bekas luka, tetapi sakit yang didalam akan terbawa sampai hidupku berganti alam. Terimakasih karena kamu telah mengantarkanku tepat ke pintu lorong panjang bernama kematian.

Kost,
190524

Wednesday, May 08, 2019

Surat Kepada Embun




Dear Embun,
Ini aku, Matahari. Bicara kepadamu seolah kamu masih ada didalam bagian nisbiah hidupku; di alam batinku. Nyatanya sebuah peristiwa telah menjauhkan kedekatan gaib kita, menjauhkan masing masing kita dari jangkauan keinginan setiap kali kita membutuhkan telinga berisi hati. Bicara yang selalu menenangkan dan menguatkan setiap kali serangan amarah bercampur sedih karena kecewa datang mencengangkan sekaligus melumpuhkan.
Kali ini aku  ingin bicara mengenai perang di negeri senyapku, di batin yang menyelubungi seluruh kisah hidupku. Para iblis yang kita kenal dulu telah menjadi jinak oleh waktu dan ketabahan kita dalam meladeni setiap seranganya, tetapi aku sudah lupa bagaimana menghadapi mereka diwaktu itu, aku butuh ilmu untuk menghadapi mereka dari kamu.
Ingatkah kamu, kita bertemu di savanna kosmos maya bertahun silam; sama sama menyembunyikan luka dendam. Buah dari keyakinan kita pada kesetiaan; luka hati oleh sebab mencintai! Kita berjalan sempoyongan di dunia yang penuh dengan aturan kewajiban ini, kemudian tanpa sengaja bergandengan tangan ketika tubuhmu limbung oleh serbuan ingatan masa lalu, dan aku ada disana memapahmu spontan. Kamu hanya perlu telinga dan hati untuk menterjemahkan betapa berat bebanmu dan betapa perih lukamu. Lalu kamu hanya perlu seorang yang memanusiakanmu, menempatkamu sebagai sesuatu yang penting didalam hidupnya. Dan itu aku.
Sedangkan aku waktu itu, kubawa lukaku yang beribu ribu dalam bisu. Di langit ku pahat jeritan jeritan kesakitan dengan indah, berharap sama sepertimu; menemukan telinga dengan hati dan menjadi manusia bagi seseorang. Aku perlu sejuk embun untukku sedikit berjeda dari perang batin yang berkepanjangan. Aku hampir bangkrut kala itu, tidak lagi memiliki tempat didunia dan terus saja batin mengingkari masa lalu dan pesimis memandang masa depan. Aku perlu seseorang dengan mata hati seteduh embun pagi. Dan itu kamu.
Demikianlah kita kemudian mempertontonkan perang yang sama. Perang dalam diam yang menghancurkan hampir semua sendi kehidupan. Perang itu hanya terjadi dalam pikiran. Pertentangan antara hati dan logika, pertentangan antara standard ideal dan kenyataan yang mengecewakan. Kita membawa kehancuran masing masing dan menghitung berapa banyak hal baik yang sudah mereka sia siakan. Perang batin itu sendiri adalah buah pertentangan dan protes diam diam di hati dan pikiran. Jutaan pertanyaan demi pertanyaan yang menyebar pada pertanyaan pertanyaan anakan tentang “bagaimana mungkin hal seburuk itu bisa terjadi ?”. Sampai lelah logika menentangnya hingga dada luluh lantak oleh fakta bahwa khianat itu memang benar benar terjadi dalam hidup kita. Kita sama sama dikhianati oleh orang yang kita cintai, orang yang kepadanya kita titipkan hati rapuh kita. Rasanya kita telah salah memilih titipan hati.
Maka kemudian kita menghadapi perang yang sama. Gerombolan demi gerombolan pengacau kedamaian memporak porandakan pikiran, dan kita tidak berdaya dibuatnya. Kita dianiaya sesuka mereka dengan cara semau mereka. Perihnya luar biasa, panasnya bagaikan api neraka (kira kira). Terkadang kita memilih gila saja daripada hidup hanya membawa nyawa – tanpa cita cita. Mati sengaja bukan menjadi pilihan karena kita terpaut pada kewajiban moral untuk tetap menjadi kita; untuk seorang manusia kecil titisan ruh kita. Hal hal tak rasional terkadang terlintas begitu saja, berharap  perang dalam batin kita lekas berakhir. Kita memvisualisasikan diri kita sendiri sebagai si korban, berkelahi tanpa henti dengan segala macam alasan penghianatan itu sebagai musuh abadi. Kita menyebutnya demons!
Mbun,
Untung aku ketemu kamu. Benar benar laksana embun, hadirmu membuat perangku berjeda. Datangmu membawa sejuk pada waktu yang tidak pernah mengecewakan. Kiranya Tuhan mengirim keajaiban itu melalui kamu. Jika demikian, sekarang aku paham bahwa kamulah malaikat itu kala itu. kita jadi merasa tidak sendiri lagi. Luka luka yang kita bawa dari negeri empiris masing masing dapat redam hanya dengan saling berjabat tangan lalu bergandengan. Dan kita jadi saling mengenal demons masing masing lengkap dengan sifat dan tabiatnya. Aku menopangmu ketika demonsmu menyerbu, dan kamu menyediakan tanganmu membelai kepalaku ketika demonsku  mengamuk merajalela dan aku kalah olehnya; membakar seluruh isi kepala. Lama lama kita jadi kuat, sekuat ikatan dalam batin kita yang penuh dengan rasa hormat. Kita menemukan keajaiban berupa harapan justru pada saat diam diam kita putus asa bahwa akan ada cahaya yang bakal bisa sedikit saja menyinari pekatnya hati.
Meskipun sekarang kamu sudah tidak dalam jangkauanku, tetapi kamu tetaplah embun. Kepada dunia kamu tawarkan damainya kebaikan hati. Kamu tetap saja menyejukkan isi dunia, terutama mereka yang menghayati dan memahami apa makna penderitaan. Itulah kenapa aku tetap bercerita padamu tentang demons baruku;

Demons yang menganiayaku kali ini jauh lebih perkasa dan jahat. Hasil tetasan dari seseorang yang pernah kusangka malaikat. Dia, yang datang setelah pergimu ke dunia baru dengan harapan baru. Pergimu tak melukaiku, tetapi justru menghadirkan bahagia yang membuncah karena semua berjalan baik, dan kesan yang kita tinggalkan pada lambaian terakhir di stasiun itu adalah kesan kebaikan, hormat dan kasih sayang tulus antar hati manusia. Demons kali ini hampir memadamkan cahaya yang kupelihara susah payah. Dampak kerusakan yang ditimbulkannya sepuluh kali daripada bencana pertama dulu; bencana yang kamupun juga tahu. Maaf jika kemudian cerita ini seperti anak kecil yang mengadu karena dizalimi oleh teman bermainnya. Tetapi sifatnya sama seperti dulu juga, bahwa mengagungkan cinta ternyata harus ditebus dengan duka lara. Ah tetapi rasanya tak patut lagi aku membeberkan kisahku kali ini.
Anyway, setidaknya aku masih bisa menulis untuk kamu yang tinggal menjadi imajiner bagiku. Aku sendiri telah kehilangan kebanggan masa lalu dan harapan cemerlang hari depan yang sempat aku yakini tidak akan tergoyahkan. Aku terjerembab pada kenyataan pahit tentang mencintai dengan setulus hati yang berakhir dengan sebuah perbuatan jahat yang amat keji. Kali ini juga aku tidak bisa menghindar lari. Semua yang kujaga telah runtuh, sedangkan pada saat yang sama dia telah menjadi bagian dari keseharianku  untuk waktu sangat lama meskipun hanya kebun rahasia. Tiba tiba semuanya menjadi tidak berarti lagi. Setiap hari bersusah payah aku berusaha untuk tidak memilih mati, dengan cara cara yang mempercepat datangnya mati. Aku menjadi tidak menghargai apa apa lagi di dunia ini. Nilai nilai yang selama ini kupelihara sehingga berusaha hanya kebaikan yang terjadi, seolah olah tidak ada makannya apa apa lagi.
mbun,
Manusia yang katamu hatinya terbuat dari emas ini hidup dengan hanya sekedar hidup. Baginya ia hanya ingin menjalani sisa nafas ini sampai ajal tiba. Bahkan belakangan ia banyak berpikir untuk menghindari dunia. Baginya sudah tidak ada lagi tempat nyaman didunia ini, karena penghianatan yang bejalan begitu lama telah meninggalkan pos pos berisi jutaan beling disetiap jalanan kota kota dan tempat tempat, bahkan disetiap sudut ingatan yang menyimpan kenanagan duabelas tahun kebersamaan. Disanalah mereka mentertawakan kenaifanku, melecehkan intelgensiaku bahkan menginjak injak martabatku sebagai manusia. Untuk waktu yang sangat lama, terlalu banyak peristiwa yang bisa aku analisis menjadi sebuah cerita pilu bagiku sendiri. Cerita pilu itu akan berlangsung lama sekali, sampai nanti datangnya mati.
Saat ini aku hanya bisa menunggu, menunggu malaikat datang menjemputku. Aku telah kehilangan banyak darah dalam perangku kali ini. Luka lukaku terlalu parah dan tenagaku sudah lelah. Sekuat hati aku bertahan, sepenuh tenaga aku melawan mereka. Kali ini aku sendirian. Selain kamu sudah tidak dalam jangkauan, satu satunya yang aku harapkan justru induk dari demons terkutuk itu.
Aku tahu, kamu bukan lagi menjadi pawang demonsku seperti dulu. Meski begitu, oleh kebaikanmu, setiap kali demons menyerbu, bentakan parau, menjerit dan menghina di kepala, atau meneriakkan cerita cerita hasutan, kata kata caci maki dan kekeh tawa kesenangan mereka, kata katamu bagai setetes embun di kemarau abadiku; “yang mereka katakan semua adalah bohong, tidak benar. Tetaplah kuat, kalahkan mereka wahai manusia tangguh matahariku”.
Aku masih berjuang, melawan dan berusaha tetap hidup meskipun kakiku tak punya pijakan.

Jaga dirimu baik baik selalu.
matahari

Gempol - 190507