Sunday, August 20, 2006

Sebuah malam yang tak pernah selesai.

Angin kering menghantar udara berisi kepingan debu pada sisa senja. Gelap fikiran mewakili hampa warna malam yang merangkak tertatih menyusuri cadas kenangan kadang terperosok pada lubang jalanan yang telah dipersiapkan oleh angan angan. Pengingkaran perlahan menjelma jadi ironi yang meracuni fikiran fikiran sehat tentang keberadaan alam kenyataan. Ironi yang menjebak usia dengan khayalan diluar tembok kemungkinan tentang sebuah hidup yang biasa saja, sebuah identitas yang wajar saja, tentang sabuah riwayat yang luar biasa. Inilah hidup saudara, dimana setiap orang terkurung rapat dalam dinding kaca peradaban dengan aturan kepantasan sebagai teralinya yang kukuh meragukan.

Raga tak berjiwa dengan hati yang cerai berai oleh olok olok ironi tersandar hampa pada tembok kenangan. Risau menjadi raja yang memperbudak otak untuk tunduk takluk pada lubang pekat kekinian. Kenangan terlalu jauh diceraikan jarak, sedangkan harapan menguap bersama iblis yang tak henti menyiksa jiwa letih. Keletihan yang mematikan syaraf cita rasa bagaikan puntung rokok yang tergolek di asbak ruang tamu; limbah dari ketidak gunaan. Dunia hambar menghampar sejauh indra penglihatan sanggup menatap menembusi hitamnya malam; disana sosok imateri memulai penjelajahan alam kebingunganya atas menjadi ruh tanpa identitas kesemestian. Menjadi jiwa tanpa kepemilikan bahkan oleh baginda Kerisauan sekalipun. Menjadi ampas atas intisari perasaan yang sempat melambungkan, mengambangkan dan juga menenggelamkan keakuan.

Sebutir debu hanyalah pantas menunggu antara pagi datang dan malam menjemput sampai akhirnya pagi menjemput jatah kewajibanya ketika malam berlalu pulang. Keinginan dan ketidak inginan telah menyekutu menjadi ketiadaan, ketiadaan atas keinginan sekaligus ketidak inginan. Biar saja semua datang dalam kehidupan, telah dipaksanya ego untuk menerima jatah hidup dan memberi apa yang sepantasanya terbagikan. Sebutir debu hanya pantas menuruti duli suratan diri dalam helaan angin yang tak tertebak arah lajunya. Bahkan windsock kebanggaan yang pernah dianggap menjadi peraba kemungkinan terdekat masa depan telah berlaku durjana, menipui keyakinan dengan harapan muskil. Tak diperlukan lagi, ruangan gudang untuk menampung rencana apalagi mimpi.

Kebaruan membandul bagaikan bencana, mencoba mengeja jawaban atas tebakan seperti apa rupa masa depan. Tanah gundul di hadapan terbatasi oleh pagar kokoh langit pengetahuan, sepi gung liwang liwung hanya tinggal puing puing kehidupan yang telah menjadi graffiti kuno di dinding liang kuburan. Benih harapan nampaknya akan kesulitan untuk tumbuh di tanah gundul ini, sedangkan segala privilege diberikan gratis demi subur makmurnya pohon pertanyaan yang bercabang keingintahuan dan berakar ketidak percayaan. Adakah hidup di planet ini sekoloni alasan untuk dapat mengkompromikan setiap pertanyaan yang memberontak atas status pura pura?

Bahkan pengemis tua di perempatan jalanpun masih sanggup menggadaikan kebijaksanaan usia demi harapan. Di tanah gundul ini, tak diperlukan materi apapun untuk tetap bertahan hidup. Bahkan hak istimewa sang pertanyaan sekalipun tak akan sanggup menjabarkan alasan sebagai jawaban atas pertanyaan; kenapa malam tak pernah berakhir di tanah ini…

Gempol menjelang subuh 060820