Thursday, June 29, 2006

Mabok kematian

Atas nama luka ia pasrahkan hidupnya pada kematian, tangan terbuka menunggu malaikat datang tunaikan tugasnya, agar pupus satu kisah tentang manusia. Jika benar bahwa harapan membuat orang bertahan hidup, Dia menerimanya sebagai cara yang layak untuk menjemput sang maut. Ia telah menjadi tawanan nasib yang membanting dan menghempaskanya tanpa kendali, membuat syaraf motoriknya mati. Ia menggelinding saja mengikuti arus kewajiban serta meniadakan perlawanan apalagi pemberontakan. Diterimanya semua dengan hati tak rela.

Ia menggelandang dari bayangan demi bayangan, dari kabut ke kabut yang disangka menenteramkanya. Dilarungnya segala benda kepemilikanya ke kawah keputus asaan, lebur jadi asap lalu terbang tak bersisa dilangit raya. Jika air mata yang tumpah melambangkan hati yang terkoyak dan patah, suatu kali ia adalah muatan awan yang sempat diminta bintang untuk singgah, sekedar menyirami kebun strawberry dan ladang anggrek. Lalu ia ditendang jatuh, mukanya membentur lantai es yang kaku. Maka tumpahlah pula segala luka baru jiwanya, menghambur ke bumi menjadi butiran hujan; berkah bagi kehidupan yang melata di tepi kematian.

Dia menyerahkan diri kepada ketidak pastian masa. Dilaluinya hari dengan serpihan kaca disekujur nadinya, berjalan gontai kehilangan delapan mata angin penuntunnya. Ia hanya mencari kematian dari satu titik ke titik lainya. Tak satupun rumah yang disinggahinya menganggapnya pantas untuk menjadi penghuni, sedangkan miliknya sendiri telah amblas ditelan sejarah badai hujan yang hitam. Dikuburnya mimpi yang menjelma menjadi batu kenangan, dibawanya kesana kemari sebagai beban sepanjang perjalanan ragunya. Telah dipilihnya kekalahan menjadi teman sejati tanpa ikatan janji. Toh dia hanya menjalani jalan setapak kehidupan dengan langkah kedepan yang hanya menginjak udara. Kosong tanpa rasa.

Dipeliharanya mimpi dikepala, tentang sebuah kematian indah dimana hanya alam yang menyaksikan ketika jiwanya lepas dari belenggu konskwensi. Kematian yang ia persembahkan bagi pengabdian terhadap hidup. Perlahan disadarinya, harapan hanyalah fatamorgana yang memprovokasi hati untuk takut kehilangan hidup. Dia sadar bahwa dia tidak punya kontrol apa apa terhadap wujud masa lalu maupun transformasi masa depan. Dibuangnya jauh jauh segala bentuk kebanggaan, ia terima tawaran dari nurani untuk beternak domba di kandang srigala. Dia teruslah berjalan, mencari kesempatan dimana malaikat merencanakan kematiannya meski pencarianya membetur dinding dinding buntu, sebuntu harapanya.


Gempol, dibawah kerlip Orion 060627