Sunday, March 12, 2017

Monolog Malam

Bulan bundar penuh, mengintip dari sela rimbun daun manga depan pekarangan. Sinarnya jatuh kedalam ingatan, mengujam laksana beling yang dicurahkan dari pucuk pepohonan. Seperti bayang bayang, pikiran mengembara dari pusat bara ke hamparan api lainnya. Badai menyapa bersama malam yang datang penuhi kewajibannya. Pertarungan paling bisu di dunia yang berkecamuk sejak dini hari sebeblumnya masih membabi buta dan menganiaya. Berduyun duyun iblis datang lewat semua penjuru angin, seperti sediakan menerobos seenaknya dengan berbagai prasangka dan beribu sisa. Kebingungan yang telah membikin diri tak berdaya ini sungguh telah melumpuhkan kekuatan yang terbangun, seolah semua menjadi tidak bermakna. Sia sia belaka!

Perang yang diam melahirkan perih yang tak terbantahkan. Namun demikian perih yang datang tak akan dapat dimengerti oleh siapapun, bahkan oleh mereka yang selama ini menganggap diri sebagai belahan hati; orang yang paling dapat memahami tentang isi hati dan pikiran, juga perkataan. Tak ada pertolongan bisa didapatkan karena diam menerima adalah satu satunya pilihan. Hancur dan sakitnya perasaan tak dapat dibagi bahkan dengan cerita. Seperti tak pantas rasanya memamerkan lagi sikap kebayian yang menghiba dan menjatuhkan diri hanya demi empati. Di jalan yang jauh, sepi dan gelap kesendirian semakin lengkap. Bersama bara didalam kepala, ratusan kilometer perjalanan berubah menjadi ajang monolog panjang tentang pentingnya memaknai kata kebajikan.

Kepada malam yang merangkan menggapai fajar, perang dalam pikiran mengendap menjadi residu angan angan. Terlalu banyak kata kata yang dirancang dan tak dapat dilahirkan oleh sebab dunia sudah mati untuk orang yang terbakar amarahnya sendiri. Gelap pikiran untuk dapat menemukan celah cahaya, supaya hati rela dan kuat melepaskan sebelum semuanya berakhir menjadi dendam.

Wahai malam, biar kuceritakan kepada tentang alam pikiran yang tak dapat dipahami dengan ukuran kewarasan dan kecerdasan manusia manapun. Karena memahami alam pikiran memang bukan dengan logika, melainkan dengan kerelaan hati. Begini; sejak badai setahun lalu, semua seolah olah telah berubah. Keadaan yang aman tentram telah berganti menjadi kecemasan dan syak wasangka. Bagi diri, hal itu tak lebih dari pengulangan akan kesakitan panjang dengan versi yang lebih modern, dengan kesakitan jiwa yang tidak kalah mengerikannya. Kamu tahu, jiwa yang sakit melulu berisi pikiran jahat, dan itu membutuhkan banyak sekali tekad kebaikan demi untuk melawannya. Jiwa yang sakit melahirkan obyek obyek yang menyakitkan tanpa seorangpun bisa memahaminya. Tidak ada! Kali ini akan kuceritakan tentang kecacatan jiwa jilid dua itu kepadamu, malam, oleh sebab hanya kamu teman setia bagi setiap orang yang gundah gulana.

Berawal dari pengabaian dan kemudian kepada lumpuhnya kebanggan akan arti kata ‘orang istimewa’, maka dunia menjadi cacat. Cacat yang tak terlihat karena hanya terasa oleh si sakit jiwa; sakit jiwa yang tak dapat terbaca oleh manusia. Kamu tahu, setiap pagi sewaktu keharusan mewajibkan diri untuk berinteraksi dengan alam dan peradaban, maka tak bisa dipungkiri banyak sekali obyek baru menjadi demikian membencikan. Bayangkan saja, sederatan gunung gunung Arjuna, Wilis, Tidar, Kelud dan Semeru di kejauhan yang semula begitu memberi energi karena ketakjuban akan ciptaan ilahi, telah tiba tiba menjadi hantu mengerikan bagi perasaan. Ujung ujung gunung itu begitu runcing dan keras mengoyak nyoyak pikiran. Perih tak terkatakan dan tak ada pilihan lain selain merasakan, menghayatinya dengan geraham direkatkan. Demikian juga dengan segala hal yang berkaitan dengan gerombolan gerombolan pemuja kebebasan itu, membikin pikiran muntah darah sendirian. Sebisa mungkin menghindar adalah jalan paling mendamaikan meskipun acap kali hal itu tak bisa dilakukan. Kamu tahu, perlu waktu puluhan tahun yang seolah terasa sebagai ratusan tahun untuk dapat berdamai dan berkompromi dengan perang bisu itu, untuk dapat menerima obyek obyek horror itu sebagai hal yang lumrah meskipun tak lagi mengandung kekaguman seperti sedia kala. Belajar dari catatan empiris saja, batin memerlukan upaya tak terkira untuk dapat berdamai dengan badai masalalu. Itupun tak akan bisa sepenuhnya kompromis, oleh sebab luka hati sebenarnya ada dan abadi dalam diri si penderita. Hanya waktu saja membuat kesakitan itu seolah olah tidak ada.

Jika sudah demikian, maka semua kembali kepada diri. Seluruh kesalahan di muka bumi ditumpahkan hanya kepada diri sendiri, karena dengan demikian maka kita bisa menerima kepincangan pikiran dan kecacatan pikiran itu lahir dan diolah hanya oleh diri sendiir. Orang lain, obyek lain, substansi lain tidak ada sangkut pautannya dengan keadaan buruk yang dimanifestasikan secara subyektif itu. Tetapi pada dasarnya, setiap penderitaan jiwa datang dari hasil hubungan dua orang manusia. Perasaan cinta sering kali menjadi biang keladi penyebabnya. Dan pada umumnya juga, dari kedua orang yang berkasih kasihan itu akan hanya satu orang saja yang terpuruk dalam penderitaannya. Itupun dialami dengan sangat diam dan tak dapat dipahami oleh siapapun bahkan oleh dia yang selama ini dianggap sebagai partner berbagi kehidupan.

Ah sang malam, aku letih terbenam dalam lumpur perasaan. Peperangan sendiri ini membuatku merasa menjadi rapuh dan tak berguna. Syaraf syarafku telah rusak terbakar oleh begitu banyaknya pikiran yang melulu berisi api. Suaraku telah habis meski tak satupun kata kata terlahir sebagai kompensasi atas sesaknya dada. Semua serba diam, seolah semua telah meninggalkan. Hanya kamu malam, teman setiaku yang mendengarkan kecengenganku.

Ah, sebentar lagi fajar datang menjemputmu dan kamupun harus pergi. Seperti orang yang kukasihi yang juga pergi menjauh, menjauh hanya untuk melunaskan keinginan pribadi. Menjauh demi pribadi pribadi baru yang lebih bermakna daripada sebatang kayu nyaris tanpa makna ini. Mungkin hanya pantas menjadi nisan pengingat, bahwa pernah ada kehidupan tercipta dengan segala keberuntungan menyertainya. Seperti juga engkau wahai malam, akupun akan pergi. Pergi untuk memenuhi kewajiban kewajiban menjadi manusia dan menurutkan kebijaksanaan yang tebawa oleh usia.

 

Rewwin, 130312