Friday, February 24, 2012

Kemaruk Jaya Makmur

Sebatang pohon itu memang bisa menjadi guru bagi kehidupan, asal saja manusia mau meletakkan ego dan kesombongannya di lantai terdasar kesadaran nurani. Sebatang pohon tidak akan menghisap jatah rezeki lebih dari apa yang dibutuhkannya, pun dia masih sanggup menghasilkan buah buah manis bagi kehidupan yang diberikan gratis untuk dunia. Kita belajar bersahaja dari sebatang pohon, kita belajar kukuh dan setia dari sebatang pohon pula.

Sayangnya manusia memang mahluk paling sempurna, yang dibekali dengan akan budi dan juga pikiran pikiran kreatif dalam segala hal. Segala atribut itu menjadi pembungkus sifat dasar bernama nafsu, nafsu diniawi yang tak berbatas langit atau bumi. Sebagai yang paling sempurna diantara mahluk lainnya penghuni dunia, ukuran kesempurnaan itu menjadi subyektif disesuaikan semau maunya. Acuan parameternnya adalah kepuasan, sedangkan kepuasan nafsu akan terus bertumbuh bersama keinginan dan lingkungan yang menyertai pertumbuhan itu. Pergaulan, kebiasaan, tata cara kehidupan semuanya berkembang berdasarkan taraf keserakahan masing masing orang.

Pada level tertentu, keserakahan ditolerir sebagai sebuah “kebutuhan dasar” yang diterima oleh peradaban. Satu orang manusia biasa dengan atribut titipan sementara berupa kekuasaan dan harta diatas rata rata akan sangat mudah terjebak pada paradigma ini. Kehidupan perkotaan yang dibuat seolah olah matematis dan artificialis menjauhkan diri dari pola pola kesederhanaan. Coba saja, sudah umum bahwa satu orang bisa memegang telepon genggam lebih dari satu buah. Bisa dua, bisa tiga, bisa lebih dari itu. Gaya kemaruk seperti itu dipertontonkan justru lebih banyak oleh orang orang yang tergolong intelektual dan berjabatan; sebagai identitas baru sebagai manusia supersibuk yang tidak cukup hanya mengandalkan satu nomor telepon kontak. Kemaruk!

Sebagai manusia supersibuk produk zaman teknologi, bersamanya juga tumbuh kastanisasi kastanisasi berdasarkan kesukaan dan ketidak sukaan semata. Telepon dengan harga lebih mahal dan jangkauan lebih luas diperuntukkan bagi kalangan sekelas yang disebut sebagai kolega, sedangankan pesawat telepon genggam yang lebih rendah nilainya diperuntukkan bagi orang orang yang berada dibawah selevel atau dibawahnya. Ini disebut teman. Kasta kasta tak terlihat nyata itu dibuat penuh keseolah olahan yang sebenarnya mengabaikan tatakrama dasar antar manusia. Sifat kemaruk penguasaan telepon genggam hanya sebuah cerminan, karena dibaliknya sebenarnya terdapat sifat sifat kemaruk untuk hal hal lebih besar lainnya dalam kebanggaan pribadi masyarakat modern.

Di kalangan kehidupan hedonis dan matrialistis, penguasaan atas satu bidang materi sepertinya tidaklah cukup. Batasan batasan tenggang rasa terhadap kondisi sosial sekitar menjadi abu abu dan cenderung terabaikan oleh keangkuhan serta pengakuan duniawi semata. Kekemarukan itu juga meliputi wilayah wilayah kekuasaan (power) serta pengakuan pada komunitas tertentu, jadi tidak semata pada soal kekayaan materi. Kekerabatan, keakraban yang divisualisasikan sebagai teman hanya sekedar pepesan kosong ketika bersentuhan dengan kebutuhan atas pemenuhan nafsu duniawi tersebut.

Kondisi seperti itu menciptakan akar rumput yang apatis, ibarat bara yang menjalar di bawah permukaan tanah gambut. Mereka yang kemaruk, jaya dan makmur sesungguhnya disumpahi, dan didoa doakan oleh mereka yang tebakar ketidak adilan, terinjak injak tak berdaya dibawah duli kuasa sementara. Doa doa terburuk yang pernah lahir dari mereka yang didera penderitaan bathin diam diam di dalam lautan kehidupan ini.

Sudah seyogyanya kita belajar dari sebatang pohon, yang tak merampas lebih dari yang dibutuhkan untuk memberikan hal hal manis dan berguna bagi kehidupan dunia.


Palembang 120224