Wednesday, February 13, 2013

Membelah Detik



Malam jatuh kepada garis garis wajah yang dilukis oleh cahaya temaram, ketika perkasa lampu lampu mematikan gemuruh jalan. Tasikmalaya kembali sunyi, tenggelam dalam rahasiannya yang menggenang.  Kedai kopi tepi jalan, tumpangan khayal melalang terbang, jauh menerabas awan awan kemustahilan. Gambar gambar mati tersaji bagai replica taman kaca, indah menyayat. Pupus mimpi hanya  oleh sepatah sepatah kalimat penyampai yang termaknakan keliru dan berbeda. Sisi sisi berisi estetika rasa, bukan tentang siapa dia tetapi tentang betapa sempurna ciptaanNya.

Malam seperti membelah detik ketika pertempuran kehendak bisu menggejolak, pertarungan antar nilai dan kodrat alam fauna.  Tipu tipu daya berasa seolah nyata, membentuk gugusan kebodohan yang mengagumkan.  Kesadaran atas kemanusiaan yang manusiawi membawa angin menganyam ingatan, atas utas demi utas kenangan masa silam.  Pada pucuk pucuk menara Masjid Agung, sepasang mata agung berkilauan menawarkan rindu.

Ada sepi yang menusuk lewat sela sela pagar setiap rumah batu yang membeku. Ada api yang sesekali menyambar pori pori, membujuk diri untuk bertindak gegabah. Dari lorong lorong berupa jembatan dan gang gang seterang kunang kunang, perempuan bermunculan membawa bau rambut. Itu terjadi ketika rombong demi rombong menjadi tak berlampu, terdiam berselimut plastic menjaga malam. Tepian jalan kota ini telah mengajari satu romansa kehidupan purba, seumur zaman dengan peradaban tikus tikus werok. Tingkah manusia aneh  bisa menjadi sangat wajar dan biasa, sebab hidup memang perlu biaya. Ah, kota kecil ini telah menjelma menjadi metropolitan kecil pula.

Pejalan yang terlupakan tersesat di negeri  bidadari, kehilangan arah, kehilangan gravitasi selayak layangan tak berbenang. Sembunyipun akan percuma sebab semua kejadian yang tak diceritakan akan tetap menjadi rahasia. Ia mencari penderitaan yang tak kasat mata, selayak  kenangan runcing  yang menancap telapak kaki sepanjang marka pemandu di jalan aspal.  Sejatinyalah rasa rindu terpelihara oleh dimensi ruang semata ketika jarak menjadi tunduk pada sebuah batas. Batas yang terkadang terletak berjauhan dengan hasrat dan keinginan tersembunyi.

Pantulan khayal percintaan memperlambat interval di kota bernuansa ziarah ini. Percakapan kental terpenggal oleh sebuah keharusan yang teramini. Kilasan balik pikiran melahirkan pergumulan sepi antara keinginan dan kenyataan. Hidup jadi tiba tiba membeku bersama inspirasi yang mati sewaktu sikap menjaga hati diterjemahkan dengan memasung jarak; batas yang terlalu jauh. Dongengan manis kisah si kembi yang takut matahari menyajikan kantuk, ketika sonyaruri terbelah oleh detik yang tak terhentikan.  

Angin nakal membawa kabar tentangmu, yang bersembunyi di balik gelap. Tentang kisah jejak jejak yang kau teinggalkan setengahnya bersisi undangan. Kabarmu datang terlambat, sedangkan hasrat hati tunduk pada waktu yang membawa tubuh melaju pesat. Hanya pada simpang jalan di sudut pasar tua itu, kenangan terbelenggu rantai di bangku kayu.  Kembara malam mengidung asmaradahana, laksana mendaki Galunggung, serasa telah menaklukkan sang gunung. Rupanya pendaki tak lebih sekedar pengunjung yang melintas di perjalanan. Terkadang ada saatnya, ketika segala bentuk pencapaian seolah olah tidak memiliki makna. Hilang begitu saja, tinggal jejak percakapan yang samar samar kuikuti.

Hingga malam lelah menggantung, lunas sudah mantera  bisu pemujaan mengalun.  Bahkan cahaya hari tak dapat menemukanmu, yang menjauh dan bersembunyi di balik mimpi bimbang milik pejalan yang menyinggahi malam. Nyatanya, engkau seolah olah ada.

Tasikmalaya 130208