Malam jatuh kepada garis garis wajah yang dilukis oleh cahaya
temaram, ketika perkasa lampu lampu mematikan gemuruh jalan. Tasikmalaya
kembali sunyi, tenggelam dalam rahasiannya yang menggenang. Kedai kopi tepi jalan, tumpangan khayal melalang
terbang, jauh menerabas awan awan kemustahilan. Gambar gambar mati tersaji
bagai replica taman kaca, indah menyayat. Pupus mimpi hanya oleh sepatah sepatah kalimat penyampai yang
termaknakan keliru dan berbeda. Sisi sisi berisi estetika rasa, bukan tentang
siapa dia tetapi tentang betapa sempurna ciptaanNya.
Malam seperti membelah detik ketika pertempuran kehendak bisu
menggejolak, pertarungan antar nilai dan kodrat alam fauna. Tipu tipu daya berasa seolah nyata, membentuk
gugusan kebodohan yang mengagumkan.
Kesadaran atas kemanusiaan yang manusiawi membawa angin menganyam
ingatan, atas utas demi utas kenangan masa silam. Pada pucuk pucuk menara Masjid Agung, sepasang
mata agung berkilauan menawarkan rindu.
Ada sepi yang menusuk lewat sela sela pagar setiap rumah batu
yang membeku. Ada api yang sesekali menyambar pori pori, membujuk diri untuk
bertindak gegabah. Dari lorong lorong berupa jembatan dan gang gang seterang
kunang kunang, perempuan bermunculan membawa bau rambut. Itu terjadi ketika rombong
demi rombong menjadi tak berlampu, terdiam berselimut plastic menjaga malam.
Tepian jalan kota ini telah mengajari satu romansa kehidupan purba, seumur
zaman dengan peradaban tikus tikus werok. Tingkah manusia aneh bisa menjadi sangat wajar dan biasa, sebab
hidup memang perlu biaya. Ah, kota kecil ini telah menjelma menjadi
metropolitan kecil pula.
Pejalan yang terlupakan tersesat di negeri bidadari, kehilangan arah, kehilangan
gravitasi selayak layangan tak berbenang. Sembunyipun akan percuma sebab semua
kejadian yang tak diceritakan akan tetap menjadi rahasia. Ia mencari
penderitaan yang tak kasat mata, selayak
kenangan runcing yang menancap
telapak kaki sepanjang marka pemandu di jalan aspal. Sejatinyalah rasa rindu terpelihara oleh
dimensi ruang semata ketika jarak menjadi tunduk pada sebuah batas. Batas yang
terkadang terletak berjauhan dengan hasrat dan keinginan tersembunyi.
Pantulan khayal percintaan memperlambat interval di kota
bernuansa ziarah ini. Percakapan kental terpenggal oleh sebuah keharusan yang
teramini. Kilasan balik pikiran melahirkan pergumulan sepi antara keinginan dan
kenyataan. Hidup jadi tiba tiba membeku bersama inspirasi yang mati sewaktu
sikap menjaga hati diterjemahkan dengan memasung jarak; batas yang terlalu
jauh. Dongengan manis kisah si kembi yang takut matahari menyajikan kantuk,
ketika sonyaruri terbelah oleh detik yang tak terhentikan.
Angin nakal membawa kabar tentangmu, yang bersembunyi di
balik gelap. Tentang kisah jejak jejak yang kau teinggalkan setengahnya bersisi
undangan. Kabarmu datang terlambat, sedangkan hasrat hati tunduk pada waktu
yang membawa tubuh melaju pesat. Hanya pada simpang jalan di sudut pasar tua
itu, kenangan terbelenggu rantai di bangku kayu. Kembara malam mengidung asmaradahana, laksana
mendaki Galunggung, serasa telah menaklukkan sang gunung. Rupanya pendaki tak
lebih sekedar pengunjung yang melintas di perjalanan. Terkadang ada saatnya,
ketika segala bentuk pencapaian seolah olah tidak memiliki makna. Hilang begitu
saja, tinggal jejak percakapan yang samar samar kuikuti.
Hingga malam lelah menggantung, lunas sudah mantera bisu pemujaan mengalun. Bahkan cahaya hari tak dapat menemukanmu,
yang menjauh dan bersembunyi di balik mimpi bimbang milik pejalan yang
menyinggahi malam. Nyatanya, engkau seolah olah ada.
Tasikmalaya 130208
No comments:
Post a Comment