Saturday, October 11, 2003

Balada Perempuan Malam

:Ria
Petir jaman mendamparkanku pada lampu lampu malam bersama jutaan lagu yang terperdengarkan mengikuti apapun kata hati (ataukah hati yang dibuat buat mengikuti segala nyenyanyian?)
Ia mencoba menjadi tiang tanpa akar menentang ombak yang terus berputar seperti jarum arloji. Kontradiksi hidup tak lagi punya makna sebab hidup hanyalah sekedar hidup, sekedar berbirahian...

Telah kuretas temali layarku ucapmu pada senja kesekian,
Kubiarkan nuraniku mengarungi laut tanpa tuju, aku tak lagi dahaga meski kerongkonganku terbakar keinginan normatif
Dan setiap lekuk tubuhmu, juga suara yang mendayu dayu palsu atau bau ketiakmu memabukkan setiap lelaki yang membiarkan kau sandarakan kepala dan harapan liar hari ini dipundaknya.

Pada saatnya engkau berjalan sendiri,
Berucap syukur karena badai tak merobohkan bentengmu, bahkan mengikisnyapun tidak kecuali buah kenangan yang hanya kau pendam sendirian hingga membusuk dalam peraman perasaanmu...


BPN, 11 Oct 03

Sesal

Bahkan senyum diwajahmupun tak kukenali lagi
Bahkan rasa yang kucaripun tak kuingat lagi meski kudapatai tanpa kurasai
Matematika hidup tak lagi hidup oleh sang pencari

Sebungkus kenang kenangan hambar mengendap diam diam
Tinggal sesal karena malam melulu berisi birahi; dan busuk bau sampah kota
Dari manakah datang penghuni penghuni bumi yang selalu bersembunyi
Yang hanya memperdengarkan tawa sebagai undangan?

Sesalku bagai serpihan gambut dipantai Lamaru
Dan kepribadianku adalah bangkai ubur ubur yang menghias tajam terumbu
Sungguh tak kutemukan kesadaran dari darah yang menetes dari kaki kiriku yang tertoreh waktu,
Sebab hidup hanya menunggu arti mimpi, mengekang keinginan dan berontak kepada kenyataan

(sebongkah hati meratap ratap dari jauh, menggema gema didalam kalbu sunyiku)

Balikpapan, 11 Oktober 2003