Friday, December 07, 2007

Gerutu Hujan

Marah yang membuncah merobek pagi lewat mimpi. Damai terbunuh oleh gemuruh dendam yang tiba tiba hidup dari kematian suri panjang. Gigi gemeletak menahan letupan benci, hati teraniaya sedangkan segala rumus kebaikan telah disuguhkan sebagai upeti. Tawa penghinaan dan senyum ejekan mencabik cabik segala percaya diri, menempatkan sebagai korban kesekian dalam palung luka yang sama, lumpur pekat yang sama; ketidak berdayaan itu.

Pagi datang tanpa matahari, Kamis dan setiap hari tak sama lagi. Semua berubah menjadi gerang dan gersang, pembosanan atas kehidupan. Bertemu dengan manusia manusia dengan parang terhunus ditangan ketika terjaga, bertemu iblis yang berpesta pora ketika lelap membekap, sakit dan sedih semata. Lantas kemana tempat tanpa tipu daya dan ganggu jiwa? Mendung menghias langit, menutup warna keperakan pada setiap tepi mega yang katanya mengandung harapan akan kecerahan. Gerimis yang biasanya membawa syahdupun berubah menjadi gerutu oleh sebab hampanya rasa sesiang ini.

Rencana. Beribu rencana teronggok bagai bangkai kuda nil dalam angan angan. Rencana rencana yang mati pada saat kelahirannya sendiri, terlilit oleh pesimisme yang menggelayuti hati. Dengan siapa hari ini akan terbagi, sesungguhnya telah terpasrahkan diri untuk segala bentuk kehidupan manusia dan benda mati, menyerahkan diri pada keperkasaan mereka mereka yang mengendalikan dunia. Perintah diterima, perintah diteruskan semuanya melulul berisi dikte dikte otomatis dari mulut ke mulut dan lupakan tenggang rasa.

Rintik hujan disiang hari mewakili tangis yang tertahan sejak pagi. Tangis meratapi kemalangan bagi si beruntung dan keberuntungan bagi si malang; diri semata wayang. Jika nanti saatnya hujan berhenti, rasanya kaki ingin pergi meninggalkan bumi, terbang menjelajah negeri negeri sampai ke Timbuktu. Sejauh mungkin mengendarai angin, menembusi genangan demi genangan kenangan masalalu yang tak mau juga mengering meski waktu telah membakarnya jadi abu. Kenangan ternyata tak mau mati, meski perih meradang sebagai ekspresi.

Bahwa penderitaan memang melahirkan jiwa jiwa perkasa yang lahir kembali dari keterpurukan. Memahami betapa kebahagiaan tidak akan bisa terasa tanpa ketidak bahagiaan yang pernah dialami dan kesenangan sesungguhnya tidak bisa dinikmati tanpa merasakan ketidak senangan terlebih dahulu. Tersisihkan dan diacuhkan menciptakan keberanian untuk mengatakan ‘cukup’ dan lalu melambaikan tangan tanda perpisahan. Cukup adalah cukup, setelah mengemis pengertian sekian ribu tahun dan hanya membentur dalam cibiran yang menyakitkan, atau malah penghakiman yang mengerikan. “ kamu selalu negative…!”

Maka pergilah kepada hingar bingar keinginanmu. Sunyi ini akan menjadi indah tanpamu, tanpa cemooh dan permainan hatimu. Tenggelamlah diantara jubah dan topeng peradaban, menjadi palsu oleh keinginan dan pengingkaran atas realita duniawi yang tak bisa kan lepas dari status. Menarilah terus bersama irama irama cabul, pesan pesan mesum yang membuatmu serasa menjalani hidup yang semestinya.

Tetes embun, rumah kayu, kali kecil, pematang sawah, ikan gobi, sejuk lereng gunung, kebun strawberry dan cita cita indah itu mati bersama prasangka yang kau hujam deras ke ulu hatiku. Aku mati sudah untukmu…


Ciracas dibawah hujan dendam, 071207