Friday, May 12, 2006

Sewindu Reformasi

Reformasi ternyata melahirkan sebuah oligarki massive diseluruh negeri. Slogan dan jargon tentang masyarakat madani yang rajin kita dengar ternyata hanya mantra muslihat belaka, angin surga bagi kejenuhan akan status quo. Inilah akibatnya ketika keinginan telah tanpa terasa teracuni oleh manis pandangan akan rumput tetangga; gaya berfikir radikal.

Teori reformasi yang hanya melulu berupa gagasan tanpa blue print pelaksanaan serta ekses kemudian melahirkan sebuah generasi bingung dalam menata negara yang notabene bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan berbangsa bagi warganya. Sesungguhnya, pejabat negara dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah pelayan bagi warga negara, menyediakan diri untuk melayani warga negara mendapatkan hak hak sipil. Prinsip yang sederhana itu telah bergeser menjadi wacana birokrasi berbelit belit yang mengaburkan esensi fungsional yang mendasar sebagai pegawai negeri; pelayan bagi rakyat jelata. Orang jadi abai dengan prinsip kesederhanaan fungsi sebuah elemen negara.

Reformasi salah kaprah menjadikan para pelayan rakyat jelata (khusus yang bermoral korup) menobatkan diri mereka menjadi raja raja kecil dalam lingkup kekuasaanya. Bagaimanapun mereka juga manusia, yang memiliki nafsu dan kepentingan sebagai manusia, dan dengan jiwa korupnya jeli melihat peluang untuk menggelembungkan diri dilingkunganya. Materialistis selamanya menempel pada sifat manusia, tak terkecuali juga para raja kecil dan besar. Perduli setan dengan rakyat jelata, salah sendiri menjadi rakyat jelata, dan kasihan deh lo menjadi rakyat jelata.

Jadilah kini, delapan tahun reformasi ternyata menampakkan wujudnya yang sejati. Sebuah perebutan bangkai gajah oleh ribuan belatung yang tak bisa kenyang, dengan kebusukan yang membahana menjadi hal biasa. Terlalu sibuk mengurusi sempalan sempalan daging busuk pengurus negeri ini mengabaikan tiang terkuat dari satu negara; warga negara yang notabene rakyat jelata!

Bukankah idealnya pemerintahan reformasi adalah sebuah pemerintahan yang mengakomodir semua kepentingan warga negara, menjadikan hukum sebagai satu satunya landasan untuk ditaati bersama tanpa tawar menawar dan menciptakan kesejahteraan dan rasa aman bagi siapapun yang ada didalam territorial, dan menjunjung tinggi hak hak sipil bernegara. Negara dipimpin berdasarkan kebingungan yang legitimated, dan menciptakan sebuah paradigma kekuasaan yang terkotak kotak, semua berazas birokrasi dalam berbagai bentuknya. Undang undang hanya menjadi sederet tulisan berisi pasal pasal, sanksi sanksi jika para pelaksana dan pengawalnya tidak menyelenggarakanya dengan landasan moral dari nurani pribadinya.

Tidak mengherankan jika setiap hari di tivi kita tonton berita demonstrasi (baca: ekspresi ketidak puasan), protes atas sebuah tindakan, kebijakan bahkan rencana sekalipun. Nah, ternyata reformasi juga melahirkan sebuah ketidak percayaan dari berbagai lini. Semua atas dasar kepentingan kelompok dan golongan yang maunya mengharuskan suara dan pendapatnya ditelan mentah oleh yang diprotes, kalau tidak, ancamanya adalah anarkisme, kekerasan. Pendekatan kekerasan dengan tingkat pertanggung jawaban hukum yang rendah. Kelompok kelompok kesukuan, ras, golongan bahkan agama dijadikan tunggangan untuk menekan. Karena memang demikianlah reformasi itu digulirkan delapan tahun silam, dengan demonstrasi besar besaran dan kekerasan.

Negara kehilangan power of control terhadap warganya sendiri, sebuah alamat bagi kemandulan identitas sebuah bangsa. Dalam sejarah peradaban manusia, revolusi seyogianya menelurkan sebuah pembaharuan kearah yang lebih bermutu. Delapan tahun sesudah euphoria reformasi, bhineka tunggal ika, dan garuda pancasila bersiap siap untuk gulung tikar, kolaps (meminjam istilah dari blognya gee). Reformasi sebagai alasan sebuah penyelenggaraan negara yang lebih demokratis berbasis rakyat jelata seharusnya mengedepankan kepentingan dan hati nurani rakyat, bukan hitungan hitungan di atas kertas yang lahir dari otak otak cerdas yang hanya bisa merumuskan berdasarkan buku panduan.

Setiap warga negara hanya butuh rasa aman secara moral dan material, terlindungi hak haknya tanpa membedakan etnis, dengan demikian terpenuhi rasa keadilan yang pada giliranya akan melahirkan sebuah generasi yang cinta negeri, memiliki wawasan kebangsaan keindonesiaan, benteng terkuat bagi keberlangsungan sebuah negara. Ketika orde baru tumbang, kita berharap hal hal itu dapat terwujud melalui reformasi (pembentukan ulang) pemerintahan. Kita boleh berharap, toh tak selamanya harapan menjadi kenyataan.

Dari diri kita sendiri kita akan merubah keadaan, saling bergandeng tangan dengan rasa hormat tinggi terhadap sesama tanpa harus memandang perbedaan sebagai satu peluang merendahkan. Hancur dan suburnya negeri ini, sungguh tergantung kepada nurani kita sendiri. Kita tidak ingin tika, uis, kilgor, davin, damara, anne, farell, vio, zaki, darrel, Aileen, angie, dan jutaan anak anak lainya terbentuk oleh kepribadian oligarkis yang menyesatkan itu, bukan? Persaudaraan, kesetaraan dan menjadikan nurani sebagai pijakan moral dari setiap warga negara Indonesia akan dengan alami membentuk sebuah bangsa yang memiliki patriotisme dan nasionalisme tinggi, rasa memiliki yang positif terhadap negara yang menjadi ada karena sumbangsih setiap individu warganya. Jangan kita wariskan kekacauan moral kepada anak cucu kita dengan kemewahan janji surga.

Dari sinilah perbaikan dan langkah mantap kepada kehidupan madani berawal, dari dalam sanubari kita masing masing. Tebarkan cinta dan damai demi masadepan Indonesia tercinta, agar penerus kita bangga menjadi orang Indonesia.

Gempol, 060512