Monday, January 23, 2006

Simalakama


Tak tahu kepada siapa lagi diri harus mengadu, setelah tanpa jemu memohon kepada Tuhan untuk membantu, menguatkan hati dan mambangun logika kembali setelah porak poranda berkali kali. Kali ini juga, kehancuran begitu terasa pedihnya. Diri telah kehilangan segala yang patut untuk dipertahankan menjadi lumpur yang mengabur diterjang kazaliman sesama umat manusia. Luluh lantak bagaikan cuma cerita duka.

Diri tengah dihancurkan tanpa penyesalan, diri yang terlanjur mengenakan jubah malaikat yang compang comping oleh penghianatan. Telah dipenuhi segala (?) yang semesetinya dipenuhi dan telah dilewati segala yang tidak selayaknya dilewati sebagai lelaki, atau bahkan sebagai manusia. Apakah diri terlalu sempurnanya? Tentu tidak, kecuali menempatkan diri sebagai manusia lengakap dengan perhitungan nurani dan kecacatan kepribadianya.

Inipun hanya satu dari sekian banyak persembahan dari setan, bayi bayi unggulan iblis yang dititipkan dikepala dan dibiakkan ketika ego menjadi puing, debu tanah merah belaka. Pernah juga singgah ikhlas dan menyerah ketika diri letih mengharap ampun, ketika hati hancur diterjang ego yang menjulang menutup aib. Semua bergedebaman semaunya berulang ulang, menimbulkan asap barnama sesal, pekat menyesakkan isi rongga kepala, panas membakar dada dan perih menikam punggung. Ternyata hidup tak sesederhana fikiran, ternyata fikiran tak serumit kejadian. Dan harus rela menerima bahwa bumi berubah jadi neraka penyiksaan oleh jutaan beban yang hanya tertampung dalam wadah tipis bernama kulit ari.

Ketika ketidak berdayaan menjadi raja, maka fisik tak lagi bermnakna. Kehidupan riuh hanya dalam angan angan, dalam fikiran berkecamuk mengamuk dan meraung raung. Sampai letih, sampai suara habis dan sampai energi tak tersisa setetespun juga di jiwa. Lalu berkaca melihat diri adalah manusia biasa, bukanlah Nabi apalagi Malaikat. Diri hanya menusia yang menjalani kehidupan dengna ketidak sempurnaan dan terus memaksakan diri untuk menjadi sempurna.

Dengan mata kabur dan tubuh gemetaran, nurani meriut oleh kehendak, menjadi manusia sesejatinya atau menjadi manusia egois. Manusia sejati akan mengumpankan diri untuk kebaikan kehidupan, mengesampingakan diri sendiri tanpa bentuk rasa. Membela rasa yang dikehendaki berarti merelakan satu penggal kehidupan hancur tanpa bentuk dengan miliaran pertanyaan tentang apa yang akan terjadi dimasa depan.

Dan masa depan tetap jadi misteri, apakah diri tetap jadi tumbal atau menjadi pahlawan bagi kehidupan, paling tidak dalam ukuran nurani. Pesimisme menjawab sinis atas setiap tawaran entah dari hati maupun logika, mengumbang ambingkan nurani dalam siksa simalakama...

Entahlah…

Empty cubicle, January 23, 2006 – 1157hrs