Thursday, April 05, 2007

Anak ayam di lubang kakus

Pandanganya yang buram mengikuti gerak awan berarak menjelajahi angkasa yang luas dan kosong. Disana dulu tempatnya bercengkerama dan memandang hidup dari sisi ketinggian akal nurani. Umpama anak ayam yang tercebur diantara kubangan kotoran, berteriak teriak hanya kepada dinding tanah bisu membeku, tempat para baksil beranak pinak bersimaharajalela. Di lubang kakus yang menjegalnya dia terjebak kini dengan sayap yang dipincangkan dan kehilangan kehalusan fikiran. Bahkan tak kadang dia kehilangan arah fikiran dan apa yang musti difikirkan.

Ia terkenang sayap kecilnya dulu, yang mengajarkan mimpi memburu matahari sampai ke negeri dongeng dimana pepohonan tumbuh berakar kabut. Dimana pernah dijumpainya tangkai demi tangkai buah pengalaman yang ia susun jadi mahkota kebanggaan. Bersama awan pula ia mengembara menembus batas batas kemustahilan atas dirinya yang kecil, menempuh lebih jauh hanya karena dia sendirian saja. Negeri negeri yang ditinggalkan kini datang berjubal dalam rindunya, menyuguhkan pengandaian pengandaian yang memabukkan kebosanan. Negeri negeri itu, akankah mereka juga mengenang jejak yang pernah ditinggalkan serta menyimpan kehadiranya sebagai sebuah catatan?

Berpasrhahpun bahkan ia tak tahu caranya kini. Hatinya menolak dan membentuk menjadi sebuah pemberontakan eskalatif diam diam yang panjang. Sebuah pertempuran bathin yang merontokkan bulu bulu kebanggaan. Sungguh iapun berharap seseorang akan datang dengan irus bergagang, dan mengentaskanya dari jurang kenestapaan yang dipilihnya untuk berkubang dulu. Ia menolak menjadi korban sesaat setelah ia relakan sayapnya dipatahkan, berasa buah pengalaman dan mahkota kebanggaan menjadi obat penenang dari segala jenis kekacauan alam fikiran.

Seandainya saja ia ikuti logika yang menyisihkan idealisme, mungkin kini ia akan sudah berada diantara gumpalan awan di negeri lain lagi, memunguti serpihan kejadian menjadi bekal hidupnya sebelum usia merapuhkan. Penyesalanya datang tanpa dilawannya, sebagai symbol kepasrahan yang dipaksakan; musuh musuh baru bagi segala jenis contoh kepahlawanan. Mungkin juga ia tidak akan pernah bertemu dengan lubang kakus celaka ini, dimana ia hanya menyaksikan kisah lembar demi lembar daun bambu kering yang luruh dari tangkai kemegahan, lalu membaur jadi zat ketidak bergunaan.

Satu kali seorang malaikat datang didalam gelap dan pengap dunianya, mengajarkan hikmah tentang menjadi pejantan. Bahwa kekuatan yang besar sama artinya dengan tanggung jawab yang besar pula. Dan telah digadaikan kekuatanya yang besar itu kepada waktu yang memakan tubuhnya tenang tenang, yang ditukarkan dengan kebingungan sebagai anak keturunan dari ketersesatan. Ia termenung sejenak oleh sebab dunia di angkasa tak berisi apa apa. Tak ada temannya bicara meskipun dalam hati sekalipun. Mengaca kepada pengetahuanya tentang dirinya sendiri, ia simpulkan bahwa dirinya memang lemah, bahkan hanya karena tatapan mata bocah.

Sebutir embun luruh dari pucuk daun bambu dihadapanya. Ia tertunduk menanyakan kabar masa lalu…

Gempol, 070405

* tulisan ini sebagai pengingat masa kecil, dimana seekor anak ayam acap kali tercebur ke lubang kakus Mbak Sujak, dibawah rimbun pohon bambu sebelah rumah. Bingung dan lemah di dasar kakus, berlumur kotoran yang jadi beban keseluruhan hidupnya sampai seseorang akan mendengar jeritannya lalu mengangkatnya dari sana dengan irus (sendok besar yang cekung, terbuat dari tempurung kelapa dsb untuk menyendok sayur dsb dari kuali, belanga, periuk atau panci) bergagang genter (galah).