Saturday, March 25, 2006

Sebuah Drama Pengingkaran Fakta

(sebuah kontemplasi akhir pekan)
Sungguh mudah terbaca hanya dari kata kata, betapa sepi sanggup melilit hati dengan keterperosokan dalam gelap fikiran. Suara yang membentur dinding tebal dan dingin membeku dijarak dua sentimeter dari wajah seperti hanya diperuntukkan kepada telinga sendiri, sebab semua telinga berada ribuan mil jauhnya dari letak keberadaan.

Lalu mengalirlah rindu kepada orang orang dimasa lalu, atau barangkali masa depan, sangat rancu. Menggenanglah manis rindu masa lalu, keramahan bumi perasaan kala itu, dan kenyamanan berada dalam lingkupanya yang hangat oleh cinta. Tak terbayang dahulu, bahwa keindahan dan kenyamanan seperti itupun akan berakhir dengan satu akhiran yang tak pernah ada dalam rumus tebakan. Misterius!

Ah, masa lalu. Kemana warna pedih perih masa lalu itu sekarang? Kenapa yang tertayang hanya kebaikan dan keindahan semata? Keindahan yang menarik narik angan angan untuk berdiri diatas angin dan berlarian diantara awan, jauh dari tanah kenyataan. Kepediahan masalalu menjadi bias, mungkin terkubur oleh gundukan sang waktu yang terus meninggi dan membesar. Sang gundukan waktu, tempat tangan nurani bertolak merabai masa depan yang berhamburan di udara sebagai asap.

Ternyata, masa lalu hanya jejak langkah kaki sendiri, yang menerabas belantara cerita dengan peta panduan intuisi dan senjata bernama pedang logika. Pengakuan atas kepemilikan jejak itulah yang memanggil manggil angan angan untuk kembali menoleh sejenak, dan mengais sisa kenangan manis adalah yang terbaik sebagai upaya pada saat ini. Tanah melempang bekas pijakan kaki pengalaman, bangunan bangunan indah yang sempat terbikin semasa perjalanan bahkan persinggahan persinggahan yang menenteramkan dulu, menjadi catatan pengakuan atas diri sendiri. Kenyamanan berada diputaran indahnya ketiadaan itu menjadi dramatisasi atas pengingkaran terhadap fakta bernama kekinian.

Kekinian, hanyalah tangan yang melepuh lelah mengayun pedang membabati belukar kejadian, yang kebetulan kali inipun terasa sedemikian ganas belantara yang satu ini. Kaki yang penuh goresan oleh onak yang tajam pada areal yang terjal mendaki. Rasa rasanya diri tak sanggup untuk maju mendesak, tetapi enggan menyerah demi harga diri. Bertahan dan mengumpulkan semua kekuatan dalam diri adalah pilihan, sambil menunggu hujan badai yang sedang mengamuk perlahan mereda untuk berhenti samasekali. Kekinian beberapa tahun lalu hanyalah kabut yang mengambang diudara masa depan, misteri belaka.

Demikian juga masa depan, tetaplah ia menjadi udara dengan kabut tipis tebal serupa asap rokok menggumpal gumpal. Ia tetap misteri yang tak tertebak dan bahkan menyimpan jawaban bukan dari salah satu jawaban atas tebakan yang dipersiapkan. Terkadang ketidak sesuaian jawaban yang diharapkan menyebabkan kekecewaan, terkadang juga membawa kebahagiaan. Segalanya absurd dan ambigus untuk benda bernama masa depan ini. Diri tak pernah tahu setebal apa lagi belantara onak berduri yang harus ditebas demi menciptakan jejak kenangan seperti ribuan kilometer pernah terbentuk. Dan ketika onak berduri ditanah tejal mendaki terlewati, apakah yang akan ditemui lagi? Semua tinggal menjadi misteri.

Masa lalu menjadi catatan penenang dan masadepan menjadi misteri penjanji ketika kekinian hanya berisi keletihan atas hampa. Menjelajahi dunia masa lalu dan masa depan yang nisbiah, adalah pengingkaran atas fakta datar benama; kekinian. Pengingkaran itu menghasilkan ketidaksesuaian antara fikiran, hati dan perbuatan. Dan…life goes on…

Gempol, 060325
(terima kasih kepada bung Didi Revkotz untukjudul tulisan ini)