Sunday, September 28, 2008

Pesan dari Bunda

Anakku,
Aku tetap berharap engkau akan turut pulang dalam rombongan, setia seperti matahari yang selalu tenggelam menjelang malam. Pulang ke tanah tempatmu terlahir, dimana darahku tumpah di bumi yang menyaksikan tangis pertamamu pecah. Burung burung Prenjak sudah kejek riuh di pohon mangga depan rumah kita, burung burung yang dulu sering kau sapa gembira sebab mereka mempertandakan seseorang akan datang dari perjalanan menyambangi kita yang terjebak dalam gurun kemiskinan. Seharusnya engkau pulang anakku, sedangkan sejauh bangau terbangpun pasti akan kembali ke sarang.

Wahai buah air susuku,
Aku teringat, hanya doa yang dapat ku bekalkan ketika kaki mungilmu melangkahi batas pagar halaman menuju dunia luas dengan bergegas. Mimpimu menumpuk di angan angan pemberontakan kecil atas tali miskin yang menjerat leher kita dari generasi ke generasi sebelum dan sesudahnya. Mata lugumu mengisyaratkan tempat tempat nun jauh yang bahkan tak pernah terbacakan dalam cerita dongeng pengantar tidur yang aku bacakan untukmu. Dan bulan bulan awal kepergianmu kutangisi malam malam sepi dengan doa dan permohonan agar anak lelakiku dikuatkan dalam pengembaraan, agar selalu dimudahkan menemukan dalam pencarian.

Anakku,
Kabar yang engkau kirimkan lewat angin menggambarkan tanah tanah pijakan yang jauh dan sendirian, tak terbaca olehku kelaparan dan luka lukamu, bahkan telapak tanganmu yang kapalanpun tak kau kabarkan. Semuanya berjalan baik baik saja, dan anakku kini jadi lelaki entah di negeri mana. Selamanya lelaki selalu pergi dari rumah ini, rumah tempat mimpi mimpi mudamu tersusun bersama ketakutan yang kau sembunyikan diam diam dibalik tembolok yang selalu tak terisi penuh oleh cadangan makanan.

Ah, anakku..
Semestinya engkau pulang lebaran ini. Lihatlah teman teman sebayamu pada berdatangan dari perantauan jua. Mereka membawa kisah kisah yang membanggakan tentang hidup mereka di negeri orang, mengusung kekufuran dengan perbendaharaan benda dan bahkan dialek bicaranyapun sudah susah aku kenali lagi. Anakku pasti tidak akan seperti itu. Pahalawanku akan tetap menjadi lelaki dusun yang rendah hati dan sopan santun, tidak membawa sampah perantauan ke desa untuk dipamerkan dalam imitasi kehidupan kota. Cerita tentangmu ramai dibicarakan, anakku yang tertambat oleh kewajiban dan tak bisa meninggalkan tanah rantauan. Ah, demikian kejamnyakah kota yang merenggutkan anak lelakiku dari ibunda yang merindukannya?

Tak mengapa anakku,
Sepenuhnya aku mengerti seperti dulu pernah kuajarkan lewat sikapku untuk mnerima dan menyerahkannya kepada kedewasaan, memilih dan menjalani kehidupan. Dulu waktu kecil aku sering mengomelimu ketika pulang bermain dan menangis karena berkelahi, sebab bagiku lebih baik tak usah berkelahi daripada pulang membawa tangisan. Dari dulu kita memang tidak punya pembela, anakku.


Anakku anak naga,
Ketika takbir berkumandang memenuhi angkasa, ketika seluruh jalanan kampung kita penuh warna warni baju baru dan wewangian macam macam, aku akan menunggumu disini, di ruang tengah rumah purba kita dimana engkau akan sungkem mencium lututku, menyembah kedalam hatiku dan memohon ampun atas segala yang tak berkenan dimasa lalu. Dan aku akan menumpahkan seluruh kerinduan serta sukacita kebanggaanku atas anak emasku yang pulang dari menjelajahi langit dan bumi. Aku akan menunggumu disini, di rumah tempatmu dibentuk jadi laki laki…


Selamat hari raya Idul Fitri, Ibunda….


Tertulis dengan air mata – SCBD 080928

Kisah Sebuah Buka Puasa

Suatu hari, menjelang sore ditengah bulan Ramadhan. Dari pagi terkungkung pekerjaan, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Janji bertemu di tempat parkiran, dimana nanti motor tebengan diberangkatkan. Lalu bebarengan meliuk dikubangan kemacetan sepanjang Tendean hingga Cawang, bermanufer diantara padat kendaraan dan berjejalnya kepentingan. Cerita mengalir sepanjang jalan, membius bising knalpot dan klakson kendaraan yang mengintimidasi kesabaran. Kadang pecah tawa, kadang pula pikiran sibuk mengulum udara.

Waktu matahari perlahan tersesat diantara gedung di barat daya, seluruh isi kota bergegas menjelang buka puasa tiba. Rumah adalah tempat dimana hati berada, dan bebuka dirumah sungguhlah cita2 mereka yang bepuasa. Kesemrawutan lalulintas yang seusia dengan ukuran kecerdasan pejabat pengelolanya memberi jaminan pasti bahwa tepi jalan adalah tempat berbuka puasa massal; rela tidak rela. Kekusutan tata kelola lalu lintas Jakarta sungguh tidak perlu diragukan lagi. Kondisi genting setiap hari seperti itu sudah puluhan tahun dipertahankan dengan sukses oleh Jakarta. Pengguna (yang tidak punya akses kemana mana dikawal forerider tentunya) hanya punya satu hak; menerima keadaan! Dijalanan manusia bisa dengan mudah bermimikri menjadi mahluk buas atas sesamanya. Pantat pedas, mesin panas, isi kepalapun mudah tertular virus ganas bernama angkara murka!

Gambar baginda sang penguasa kota terpampang raksasa ditepi jalan, tersenyum lebar bebaju gamis, seolah siap berangkat tarawih, sedangkan bedug magribpun belumlah tiba waktunya. "Selamat menunaikan ibadah puasa" demikian pesan sang baginda. Ah, negeriku tercinta, bahkan para pemimpinpun bisa melucu di bulan puasa. Sayang, lucuannya tak lucu! Atau barangkali poster baginda memang salah satu bentuk propaganda supaya mereka sepersaudaraan korban kemacetan dapat lebih melatih kesabarannya selama menjalankan puasa? Hmm, poster yang menggoda untuk membatalkan puasa dengan mengumpat! Dengan banyolan wagu itu pula pemimpin kota ini memprovokasi pengguna jalan untuk lebih bersabar menghadapi ironi kota praja. Pameo ‘bukan Jakarta kalau tidak macet’ melambangkan betapa terbelakangnya pola pemikiran yang seperti antisolusi itu. Maka inilah jalanan Jakarta kita, an organized chaos it is!!

Ketika bedug bertalu, kemacetan telah berlalu. Matahari telah benar benar pergi dari sudut mata, laju roda perlahan menepi mencari tempat akan berhenti. Warteg dekat pemakaman jadi pilihan, teh manis hangat jadi ta'jil andalan dengan bumbu penyedap keramahan sang pelayan. Dua gelas teh manis hangat dan dua batang rokok lesap sebagai hadiah kemenangan hari ini. Dua puluh lima ribu rupiah terakhir di saku celana menenangkan pikiran atas tagihan berdua. Sungguh amat membahagiakan, berbuka puasa dengan kesederhanaan; teh manis hangat warteg jamuan perayaan kemenangan bersama seorang teman seperjalanan, di ruas jalan kehidupan yang sunyi.

Rasa lapar dipertahankan, sebagai imbalan bagi mereka yang dirumah, yang telah dengan segala upaya menyiapkan hidangan untuk jamuan nanti jika yang seharian bekerja pada pulang. Jarak masih setengah perjalanan, sampai ke nanti kita berpisah sehabis pertigaan.

Hari ini kita telah menang dengan tenang tenang, ...


Halim kira kira 080912