Saturday, February 24, 2007

Matahari

Matahari adalah mata sang hari, indra penglihatan bagi berjalannya sebuah hari yang dimulai dari pagi, siang lalu sore dan berakhir ketika senja membayang. Sinar lembayung di tepi barat mengisyaratkan selesainya tugas sang mata hari satu pada satu siklus waktu. Dua belas jam kira kira.

Maka kerja sang mata hari bukan sekedar menyinari, tatap juga menaburkan kehidupan kepada yang termasuk sebagai mahluk hidup di muka bumi. Ia juga menguak kegelapan dan hal hal tersembunyi, memberikan sinar kepada fikiran setiap mahluk yang dikarunii otak dan akal budi untuk berencana dalam terangnya, menyambung hidup demi sejarah masing masing.

Jika langit dipenuhi mendung kelam sekalipun, jika tak terpancar hangat sinarnya sekalipun bukanlah berarti sang mata hari tidak menjalankan tugasnya. Dia berjalan sesuai kodratnya, tidak lebih dan tidak juga kurang. Tugasnya adalah menumbuhkan dan menerangi, menghidupkan dan jika diperlukan kadang mematikan sembarang yang hidup dihadapanya.

Cerita kedatanganya selalu bermula dari sejuknya fajar, dengan sinar hingar bingar yang menguak kepekatan sang malam. Seisi bumi diserah terimakan antara embun sebagai sisa pesta alam malam dan matahari sang penguasa baru sekira dua belas jam kedepan. Di tepi bumi bagian timur sang embun di pucuk daun dan sang matahari yang menggantung diantara langit dan awan gemawan berkecupan, berpapasan unguk kemudian saling pergi menjauhkan diri, lalu tenggelam dalam tugas dan perjalananya masing masing. Sang embun menjelma menjadi setetes air yang lesap dihisap sang matahari, diterbangkan diantara miliaran molekul di angkasa untuk dikembalikan ke pucuk daun lagi dalam daur waktu yang berbeda. Sedangkan sang matahari gagah melangkahi bumi, memancar memberi arah dan sekaligus nyawa bagi mahluk mati.

Maka saudara, kita mengira jarak terdekat ubun ubun kepala kita dengan mata sang hari adalah ketika kita berdiri diatas bayangan kita sendiri. Disaat seperti itu maka diri merasa ditelanjangi sebab tak ada yang patut untuk disembunyikan. Mata hari meminta peluh dan uap tubuh kita sebagai bukti keberadaan dan sebagai imbalanya diberikan kita kebijakan untuk melanjuti hari tidak dalam kegelapan. Sumpah serapah dan caci maki tak lagi menjadi istimewa sebab dia hanya menjalankan tugasnya yang sahaja; tidak untuk memanggang hanya menghangatkan.

Merangkak mengikuti jarum arloji, sang mata hari perlahan menepi ke barat daya, dimana diujung pandangan ia akan terbang dan lalu terbenam tenang. Kita diberikan kesempatan untuk menata diri sebelum gelap datang, dengan sinarnya yang perlahan berkurang sengangarnya, agar kita tak salah jalan menentukan arah pulang. Lalu sempurnalah tugas seharian, ditinggalkan bumi menjadi mangsa sang malam, berbalut gelap dan dikerubuti kehidupan rahasia. Jutaan bola lampu (bolam bukan bohlam –red) mencoba mengingkari gelap yang mengurung, dan bumi menjadi terkotak kotak dalam cahaya tak sempurna. Dan kehiduapan malam berjalan dalam bisunya, dalam rahasianya, dimana iblis mengadakan pesta dimana mana. Lembab jejak matahari mengundang embun turun dari langit yang terkurung, lalu luruh di atap atap rumah batu dimana segala plakethik disembunyikan dan direncanakan. Sebagian terdampar di dahan pohon dan bermesraan dengan ulat ulat kayu yang sebentar lagi akan bermetamorfosa menjadi kupu kupu, mencoba menggapai tempat dimana sang mata hari bersinggasana di langit tak bertuan.

…lalu saudara, kehidupan akan terus bergulir siang dan malam berganti gantian. Seperti halnya matahari dan embun yang akan bersetubuh di fajar hari suatu saat nanti, entah kapan yang pasti akan terjadi lagi….

(untuk embun yang memanggilku matahari…I am not that good, mbun…)

Nutricia, 070224