Dear Embun,
Ini aku,
Matahari. Bicara kepadamu seolah kamu masih ada didalam bagian nisbiah hidupku;
di alam batinku. Nyatanya sebuah peristiwa telah menjauhkan kedekatan gaib
kita, menjauhkan masing masing kita dari jangkauan keinginan setiap kali kita
membutuhkan telinga berisi hati. Bicara yang selalu menenangkan dan menguatkan
setiap kali serangan amarah bercampur sedih karena kecewa datang mencengangkan
sekaligus melumpuhkan.
Kali ini
aku ingin bicara mengenai perang di
negeri senyapku, di batin yang menyelubungi seluruh kisah hidupku. Para iblis
yang kita kenal dulu telah menjadi jinak oleh waktu dan ketabahan kita dalam
meladeni setiap seranganya, tetapi aku sudah lupa bagaimana menghadapi mereka
diwaktu itu, aku butuh ilmu untuk menghadapi mereka dari kamu.
Ingatkah kamu,
kita bertemu di savanna kosmos maya bertahun silam; sama sama menyembunyikan
luka dendam. Buah dari keyakinan kita pada kesetiaan; luka hati oleh
sebab mencintai! Kita berjalan sempoyongan di dunia yang penuh dengan aturan
kewajiban ini, kemudian tanpa sengaja bergandengan tangan ketika tubuhmu
limbung oleh serbuan ingatan masa lalu, dan aku ada disana memapahmu spontan.
Kamu hanya perlu telinga dan hati untuk menterjemahkan betapa berat bebanmu dan betapa perih lukamu. Lalu kamu hanya perlu seorang yang memanusiakanmu,
menempatkamu sebagai sesuatu yang penting didalam hidupnya. Dan itu aku.
Sedangkan aku
waktu itu, kubawa lukaku yang beribu ribu dalam bisu. Di langit ku pahat
jeritan jeritan kesakitan dengan indah, berharap sama sepertimu; menemukan telinga
dengan hati dan menjadi manusia bagi seseorang. Aku perlu sejuk embun untukku
sedikit berjeda dari perang batin yang berkepanjangan. Aku hampir bangkrut kala
itu, tidak lagi memiliki tempat didunia dan terus saja batin mengingkari masa
lalu dan pesimis memandang masa depan. Aku perlu seseorang dengan mata hati
seteduh embun pagi. Dan itu kamu.
Demikianlah kita
kemudian mempertontonkan perang yang sama. Perang dalam diam yang menghancurkan
hampir semua sendi kehidupan. Perang itu hanya terjadi dalam pikiran.
Pertentangan antara hati dan logika, pertentangan antara standard ideal dan
kenyataan yang mengecewakan. Kita membawa kehancuran masing masing dan
menghitung berapa banyak hal baik yang sudah mereka sia siakan. Perang batin
itu sendiri adalah buah pertentangan dan protes diam diam di hati dan pikiran.
Jutaan pertanyaan demi pertanyaan yang menyebar pada pertanyaan pertanyaan
anakan tentang “bagaimana mungkin hal seburuk itu bisa terjadi ?”. Sampai lelah logika menentangnya
hingga dada luluh lantak oleh fakta bahwa khianat itu memang benar benar terjadi dalam
hidup kita. Kita sama sama dikhianati oleh orang yang kita cintai, orang yang
kepadanya kita titipkan hati rapuh kita. Rasanya kita telah salah memilih titipan hati.
Maka kemudian
kita menghadapi perang yang sama. Gerombolan demi gerombolan pengacau kedamaian
memporak porandakan pikiran, dan kita tidak berdaya dibuatnya. Kita dianiaya
sesuka mereka dengan cara semau mereka. Perihnya luar biasa, panasnya bagaikan
api neraka (kira kira). Terkadang kita memilih gila saja daripada hidup hanya
membawa nyawa – tanpa cita cita. Mati sengaja bukan menjadi pilihan karena kita
terpaut pada kewajiban moral untuk tetap menjadi kita; untuk seorang manusia kecil titisan ruh kita. Hal hal tak rasional terkadang terlintas begitu saja,
berharap perang dalam batin
kita lekas berakhir. Kita memvisualisasikan diri kita sendiri sebagai si korban, berkelahi tanpa henti dengan segala macam alasan penghianatan itu sebagai musuh abadi. Kita menyebutnya demons!
Mbun,
Untung aku ketemu kamu. Benar benar laksana embun, hadirmu membuat perangku berjeda. Datangmu membawa sejuk pada waktu yang tidak pernah mengecewakan. Kiranya Tuhan mengirim keajaiban itu melalui kamu. Jika demikian, sekarang aku paham bahwa kamulah malaikat itu kala itu. kita jadi merasa tidak sendiri lagi. Luka luka yang kita bawa dari negeri empiris masing masing dapat redam hanya dengan saling berjabat tangan lalu bergandengan. Dan kita jadi saling mengenal demons masing masing lengkap dengan sifat dan tabiatnya. Aku menopangmu ketika demonsmu menyerbu, dan kamu menyediakan tanganmu membelai kepalaku ketika demonsku mengamuk merajalela dan aku kalah olehnya; membakar seluruh isi kepala. Lama lama kita jadi kuat, sekuat ikatan dalam batin kita yang penuh dengan rasa hormat. Kita menemukan keajaiban berupa harapan justru pada saat diam diam kita putus asa bahwa akan ada cahaya yang bakal bisa sedikit saja menyinari pekatnya hati.
Untung aku ketemu kamu. Benar benar laksana embun, hadirmu membuat perangku berjeda. Datangmu membawa sejuk pada waktu yang tidak pernah mengecewakan. Kiranya Tuhan mengirim keajaiban itu melalui kamu. Jika demikian, sekarang aku paham bahwa kamulah malaikat itu kala itu. kita jadi merasa tidak sendiri lagi. Luka luka yang kita bawa dari negeri empiris masing masing dapat redam hanya dengan saling berjabat tangan lalu bergandengan. Dan kita jadi saling mengenal demons masing masing lengkap dengan sifat dan tabiatnya. Aku menopangmu ketika demonsmu menyerbu, dan kamu menyediakan tanganmu membelai kepalaku ketika demonsku mengamuk merajalela dan aku kalah olehnya; membakar seluruh isi kepala. Lama lama kita jadi kuat, sekuat ikatan dalam batin kita yang penuh dengan rasa hormat. Kita menemukan keajaiban berupa harapan justru pada saat diam diam kita putus asa bahwa akan ada cahaya yang bakal bisa sedikit saja menyinari pekatnya hati.
Meskipun sekarang
kamu sudah tidak dalam jangkauanku, tetapi kamu tetaplah embun. Kepada dunia
kamu tawarkan damainya kebaikan hati. Kamu tetap saja menyejukkan isi dunia, terutama
mereka yang menghayati dan memahami apa makna penderitaan. Itulah kenapa aku
tetap bercerita padamu tentang demons baruku;
Demons yang
menganiayaku kali ini jauh lebih perkasa dan jahat. Hasil tetasan dari
seseorang yang pernah kusangka malaikat. Dia, yang datang setelah pergimu ke dunia baru dengan harapan baru.
Pergimu tak melukaiku, tetapi justru menghadirkan bahagia yang membuncah karena
semua berjalan baik, dan kesan yang kita tinggalkan pada lambaian terakhir di
stasiun itu adalah kesan kebaikan, hormat dan kasih sayang tulus antar hati manusia. Demons kali ini hampir memadamkan cahaya yang kupelihara susah
payah. Dampak kerusakan yang
ditimbulkannya sepuluh kali daripada bencana pertama dulu; bencana yang kamupun
juga tahu. Maaf jika kemudian cerita ini seperti anak kecil yang mengadu karena
dizalimi oleh teman bermainnya. Tetapi sifatnya sama seperti dulu juga, bahwa
mengagungkan cinta ternyata harus ditebus dengan duka lara. Ah tetapi rasanya tak
patut lagi aku membeberkan kisahku kali ini.
Anyway,
setidaknya aku masih bisa menulis untuk kamu yang tinggal menjadi imajiner bagiku.
Aku sendiri telah kehilangan kebanggan masa lalu dan harapan cemerlang hari
depan yang sempat aku yakini tidak akan tergoyahkan. Aku terjerembab pada
kenyataan pahit tentang mencintai dengan setulus hati yang berakhir dengan
sebuah perbuatan jahat yang amat keji. Kali ini juga aku tidak bisa menghindar
lari. Semua yang kujaga telah runtuh, sedangkan pada saat yang sama dia telah
menjadi bagian dari keseharianku untuk
waktu sangat lama meskipun hanya kebun rahasia. Tiba tiba semuanya menjadi tidak
berarti lagi. Setiap hari bersusah payah aku berusaha untuk tidak memilih mati,
dengan cara cara yang mempercepat datangnya mati. Aku menjadi tidak menghargai
apa apa lagi di dunia ini. Nilai nilai yang selama ini kupelihara sehingga
berusaha hanya kebaikan yang terjadi, seolah olah tidak ada makannya apa apa
lagi.
mbun,
Manusia yang katamu hatinya terbuat dari emas ini hidup dengan hanya sekedar hidup. Baginya ia hanya ingin menjalani sisa nafas ini sampai ajal tiba. Bahkan belakangan ia banyak berpikir untuk menghindari dunia. Baginya sudah tidak ada lagi tempat nyaman didunia ini, karena penghianatan yang bejalan begitu lama telah meninggalkan pos pos berisi jutaan beling disetiap jalanan kota kota dan tempat tempat, bahkan disetiap sudut ingatan yang menyimpan kenanagan duabelas tahun kebersamaan. Disanalah mereka mentertawakan kenaifanku, melecehkan intelgensiaku bahkan menginjak injak martabatku sebagai manusia. Untuk waktu yang sangat lama, terlalu banyak peristiwa yang bisa aku analisis menjadi sebuah cerita pilu bagiku sendiri. Cerita pilu itu akan berlangsung lama sekali, sampai nanti datangnya mati.
Manusia yang katamu hatinya terbuat dari emas ini hidup dengan hanya sekedar hidup. Baginya ia hanya ingin menjalani sisa nafas ini sampai ajal tiba. Bahkan belakangan ia banyak berpikir untuk menghindari dunia. Baginya sudah tidak ada lagi tempat nyaman didunia ini, karena penghianatan yang bejalan begitu lama telah meninggalkan pos pos berisi jutaan beling disetiap jalanan kota kota dan tempat tempat, bahkan disetiap sudut ingatan yang menyimpan kenanagan duabelas tahun kebersamaan. Disanalah mereka mentertawakan kenaifanku, melecehkan intelgensiaku bahkan menginjak injak martabatku sebagai manusia. Untuk waktu yang sangat lama, terlalu banyak peristiwa yang bisa aku analisis menjadi sebuah cerita pilu bagiku sendiri. Cerita pilu itu akan berlangsung lama sekali, sampai nanti datangnya mati.
Saat ini aku
hanya bisa menunggu, menunggu malaikat datang menjemputku. Aku telah kehilangan
banyak darah dalam perangku kali ini. Luka lukaku terlalu parah dan tenagaku
sudah lelah. Sekuat hati aku bertahan, sepenuh tenaga aku melawan mereka. Kali
ini aku sendirian. Selain kamu sudah tidak dalam jangkauan, satu satunya yang
aku harapkan justru induk dari demons terkutuk itu.
Aku tahu, kamu
bukan lagi menjadi pawang demonsku seperti dulu. Meski begitu, oleh kebaikanmu,
setiap kali demons menyerbu, bentakan parau, menjerit dan menghina di
kepala, atau meneriakkan cerita cerita hasutan, kata kata caci maki dan kekeh tawa
kesenangan mereka, kata katamu bagai setetes embun di kemarau abadiku; “yang mereka katakan semua adalah bohong, tidak benar. Tetaplah kuat, kalahkan mereka wahai manusia tangguh
matahariku”.
Aku masih
berjuang, melawan dan berusaha tetap hidup meskipun kakiku tak punya pijakan.
Jaga dirimu baik
baik selalu.
matahari
Gempol - 190507