Thursday, October 19, 2006

Tentang Poligami

Dalam antropologi sosial, poligami artinya adalah merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu istri atau suami sekaligus pada suatu saat. Dilihat dari ‘pelaku’nya, poligami kemudian dibagi lagi menjadi poligini untuk lelaki yang beristri lebih dari satu orang dan poliandri untuk wanita yang memiliki beberapa suami sekaligus.

Terlepas dari aturan nilai (ajaran agama) yang membolehkan praktik ini terjadi maupun undang undang yang dikeluarkan oleh negara sebagai landasan legalitas praktik poligami, secara sederhana poligami lebih dimaknai sebagai kehidupan yang mendua dari sebuah ikatan cinta dengan akta nikah sebagai pengikat hukum dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Poligami jika dilihat dari sisi ajaran nilai (agama) semata akan membentur pada sebuah pembenaran, mengesampingkan soal ‘rasa’ yang dialami bagi yang mengalaminya. Tidak peduli apakah azas kawin ganda itu diletakkan pada lantai rasa keadilan ataupun alasan apapun, rasanya tidak realistis untuk membentuk satu rumah tangga dengan beberapa orang sekaligus.

Sungguh naïf terdengar jika seseorang beranggapan bahwa memiliki pasangan hidup lebih dari satu (yang terikat dalam hubungan suami istri) adalah hak dan kebutuhan. Soal hak barangkali masih bisa ditoleransi, tapi kalau kebutuhan??? Bukankah alasan orang yang pertama menikah adalah karena cinta yang mengikatkan mereka dan kemudian berkembang menjadi satu keinginan untuk membentuk sebuah rumah tangga yang mewakili identitas mereka? Sedangkan sebuah rumah tangga atau keluarga adalah investasi sosial yang menjadi tempat bagi berkembangnya sebuah silsilah baru, pengisi ramai kehidupan peradaban dunia.

Kecenderungan poligami terjadi pada kalangan orang yang memiliki ‘kekuasaan’ entah secara material maupun secara sosial. Raja memiliki selir, pemimpin agama (maaf), pemimpin bandit, pemuka satu komunitas, bahkan orang biasa yang kebetulan memiliki kemampuan finansial. Kecenderungan praktek poligami di kalangan ‘pemuka’ ini jelas memberi inspirasi bagi siapapun yang ada dalam lingkaran kekuasaanya bahwa kawin ganda juga bermakna kemampuan sosial, predikat tersendiri dalam lingkungannya. Kaum lelaki memiliki keleluasaan yang lebih luas ketimbang kaum wanita dalam mempraktekkan kerakusan status seperti ini, dengan menggunakan ajaran agama dan hukum pemerintahan sebagai alat melanggengkan keinginan duniawinya. Bahkan sebagian orang lelaki picik malah memilih menggunakan hitung hitungan matematis dari masa reproduksi wanita sebagai salah satu kiat memilih istri istri.

Wanita yang dikodratkan lebih lemah dari kaum pria terkadang terjebak dalam situasi dimana mereka tidak bisa menolak atau melawan dari kehendak suaminya sendiri untuk mengambil istri baru. Ungkapan klise “ Perempuan mana sih yang sudi dimadu?” mengandung nada protes yang begitu tandas. Sebagian wanita memilih bercerai daripada hidup dalam permaduan, sedangkan sebagian lagi yang malang sungguh tidak bisa menolak dimadu karena ketergantunganya terhadap si pria. Ketergantungan secara ekonomi (nafkah), dan ketergantungan lainya yang membuat si wanita kemudian lebih memilih berkompromi dengan jeritan hati sendiri, menerima di madu selama masih mendapat jaminan keamanan sosial dan finansial dari si pria.

Apapun alasanya poligami tetap mencerminkan ketidak adilan dalam ukuran standar maknanya sendiri. Poligami bagaimanapun idealnya, tetap melambangkan sebuah keterpaksaan dari salah satu fihak yang merasa seharusnya tidak diperlakukan seperti yang tidak seharusnya. Keharusan inilah yang bagi setiap orang memiliki kelenturan alasanya sendiri sendiri. Poligami sedikit banyak mengandung unsur keterpaksaan di dalamnya, bukan kerelaan hati seikhlas ikhlasnya meskipun seringkali kemudian azas keadilan dijadikan alasan pembelaan terhadap ketidak adilan itu sendiri. Bukankah ada fihak yang begitu egois jika kita mau merenungkan sedikit hakekat poligami? Intinya, adilkah seorang membagi kewajiban untuk lebih dari satu orang sekaligus dalam ikatan rumah tangga, sedangkan idealnya sebuah rumah tangga terdiri dari satu istri satu suami dan anak anak yang dihasilkan sebagai buah cinta.

Jika kemudian ajaran agama maupun perilaku pemimpinya dijadikan alasan pembenaran praktek poligami, maka kita tidak beranjak dari peradaban purba dengan kondisi fisik dunia yang semakin maju seiring dengan pola pikir umat manusianya. Sebuah contoh tragis yang mungkin tidak bisa kita lupakan begitu saja adalah pembantaian dengan bom bunuh diri oleh beberapa orang yang menafsirkan sendiri secara individual tentang kepercayaan moral yang diyakini sebagai kebenaran baku. Kepercayaan yang fanatik terhadap ajaran nilai justru menodai bahkan menganiaya keluhuran nilai yang terkandung di dalamnya sendiri. Demikian pula halnya dengan poligami, bahwa semestinya kekuatan seseorang kalau ditara dari sisi nilainya, seharusnya dipergunakan untuk melindungi dan menguatkan fihak yang lemah, bukan kekuasaan untuk menjadikan individu lain alat pelengkap atribut kekuasaan sosial.

Banyak kita jumpai praktek poligami oleh kaum pria terjadi di sekitar kita, saudara. Masing masing memiliki alasanya sendiri sendiri, pembenaranya sendiri sendiri. Sebuah penjajahan dalam lingkaran yang sangat pribadi. Ketidak relaan yang terpaksa diterima sebagai takdir, yang melambangkan betapa lemahnya kemandirian kaum wanita. Wanita menerimanya juga dengan berbagai alasanya, berbagai keterpaksaanya. Anak anak sering dijadikan pertimbangan utama sang ibu untuk menerima rasa perih dan hancur sebagai istri yang di madu, dengan pesimisme bahwa si ibu tidak akan bisa memberi lebih baik dari ayahnya. Kisah perih poligami ini terkam dalam sebuah tulisan panjang yang mungkin suatu hari akan muncul di blog ini suatu hari nanti. Tetapi cerita panjang itu yang mendasari pandangan individual bahwa apapun bentuk dan alasanya, poligami tetap sebuah ketidak adilan yang menyebabkan kehancuran bagi sebagian harkat hidup, pun juga mempengaruhi pemahaman akan kehidupan bagi generasi generasi berikutnya yang dihasilkan dari praktek poligami ini.

Sebuah kepedihan panjang kerap menjadi ending story dari praktek poligami, apalagi jika alasan poligami hanyalah keserakahan nafsu semata. Kepedihan di depan mata itulah yang melandasi penolakan terhadap pembenaran terjadinya praktek poligami dengan alasan apapun bahkan iba hati, apalagi terhadap diri sendiri…


Cubicle, 061019
(on a quiet noon when your tiny eyes wont stop staring at me, undressing me like you always do when we were together)