Wednesday, April 30, 2008

Duabelas Tahun Kemudian

: Lucifer

Penanggalan di pendulum ingatan menghilang bersama pagi yang membelah mimpi. Hari ini entah hari keberapa lagi harus kuhitung detik demi detik yang akan membawa pergi terbang berlari menyusuri kenangan demi kenagan purba, melintasi awan dan melayang diketinggian, mempermainkan jarak dalam hitungan jari tangan.

Menghirup nafas bekas hembusanmu di pagi sejuk ketika embun bermalas di pucuk bambu hias, diri kehilangan kesadaran akan kekinian. Betapa bersyukurnya kita atas keberuntungan, menemukan lagi dalam percakapan panjang pembias makna. Duabelas tahunkah kita mengingkari pohon cinta dalam ingatan, yang kini menyembul menguasai kepala dan ubun ubun kita yang menua? Oo…Waktu berjalan demikian cepat, duabelas tahun melompat tanpa cacat. Rintih dan perih siksa cinta kita paparkan, berharap malam malam akan berisi nyanyian puja bagi hati yang terluka.

Ribuan ton beban di pundak kanan yang kita bawa sepanjang jalan sejarah, tumpas sudah oleh pertemuan sederhana, sesederhana kehendak hati yang saling menginginkan. Jejak jejak karatan kita bersihkan, memandanginya dan memamerkan betapa kita menghayati setiap langkah ketika kita sama sama menjauh dari kebersamaan. Tangismu menyaru tawa bahagia, ketika matamu yang redup lindap di sudut dadaku, diantara celah ketiak yang menjadi tempat paling menenteramkan katamu. Sebuah sentuhan dengan miliaran keraguan telah mencairkan gunung batu sepanjang zaman, yang kita simpan jadi kenangan entah hidup entah mati. Dan mimpi mengetuk ngetuk pintu untuk ikut lahir dalam kenyataan malam itu.

Lalu kepatutan dan aturan kepantasan membayangi, ketika tiba tiba hujan jatuh berwarna abu abu. Ragu menikam hatimu, berbisik parau tentang hal yang semestinya dan tidak semestinya seperti ratusan tahun diajarkan kepadamu secara turun temurun, dalam lingkup kemapanan moral yang membentukmu jadi rapuh. Angan diam tak bergeming mengecupi kebimbangan hatimu yang datang bersama angin pancaroba musim ini. Air mata yang tumpah di puting dada menumbuhkan empati sukarela atas beban derita dari pilihan hidupmu yang ternyata keliru. I have been there, diterkam oleh keadaan dan dicabik cabik lantak oleh kenyataan. Toh waktu juga yang menyembuhkan segala bentuk luka dan menumbuhkan tunas tunas senyum yang sempat meranggas gersang.

Dua belas tahun yang panjang menunggu sebuah pelukan, bisik kalimat pengakuan dan tumpahan pandang penuh perasaan sayang lunas sudah hanya dalam beberapa butir perkataan, perkataan yang diucapkan oleh hati yang tak pernah letih mencintai dan mengistimewakan dalam cinta platonik panjang. Cintaku padamu, duabelas tahun lalu…

Nighty night…sleep tight…mind the bugs don’t bite…


Yogyakarta, 080410

Friday, April 18, 2008

Si Lucky

Namannya Lucky, profesinya sopir mobil charter dari Surabaya yang ditugaskan mengantar kliennya mulai dari menjemput di bandara Adi Sumarmo Solo sampai kemanapun si klien memintannya. Kebetulan kali ini ke Purwokerto, untuk urusan pekerjaan tentu saja. Boleh mampir dimana saja, terserah apa kata tamu yang dibawanya. Puluhan kilometer jarak tempuhan, diiring musik cadas Van Hallen tahun delapanpuluhan atau musik sederhana dari Koe Ploes tahun yang lebih tuaan. Mengingatkan zaman bahwa diamasa lalupun kehidupan berjalan sama seperti hari ini dan kemarin, ada tragedi dan kegembiraan, ada hidup yang hidup dalam setiap hati manusia penjalan hidup.

Malam dingin luruh menusuk tulang belulang, mengantarkan bulan menelusup diatap rumah rumah tua di kota kecil Purworkerto. Hujan sesore tadi membasahi rumput di halaman kamar dimana mobil sewaan terparkir siap mengantar kemanapun dan kapanpun atas kendali Lucky, atas kuasa klien.

Hal demikian menciptakan gunung tebal pemisah antara klien dan sopirnya, hanya terbatas oleh dinding tipis kamar hotel tempat si klien menginap. Didalamnya sebuah ranjang ukuran nomor dua, selimut lembut tebal dalam lingkupan hawa sejuk pengatur suhu ruangan, dengan segala kemewahan hotel menjadi hak mutlak sang klien, sedangkan Lucky harus melingkerkan tubuhnya yang letih setelah mengemudi sesiangan di dalam mobil yang notabene bukan mobilnya sendiri pula.

Manusian menciptakan aturan, menentukan batasan dan hal demikian sudah wajar dalam budaya kapitalisme dimana uang menentukan status, keterpaksaan bahkan standar kenyamanan. Terkadang menjadi ambigu sendiri ketika privacy menjadi terganggu hanya oleh rasa iba, namun demikian tetaplah berjalan sesuai kehendak sang malam. Tubuh melunglai oleh letih yang membelai, dan embunpun mengurung mobil sewaan dengan tubuh sang sopir tinggal raga dengan ruh mengembara nun jauh ke tanah kelahiran.

Lucky mungkin tidak sesuai dengan namannya. Keberuntungannya menjauh oleh sebab profesi yang dipilihnya, pilihan yang mungkin bukan kesukaannya. Idealisme dan kecanggihan penalaran tak mampu menolongnya untuk keluar dari kungkungan nasib, menerima pasrah pada kehendak hidup dan menjalani setiap menit kehidupan dengan berusaha terus bersyukur dan menrimannya sebagai sebuah keberuntungan sesuai dengan nama yang disandangnya, hadiah dari ayah ibunya.

Hati sang klien mungkin tak semulia malaikat dalam buku cerita, namun ia tetaplah manusia yang memiliki nurani yang bersuara, menggugat logika yang membatasi hak kenyamanan. Kedua duannya sama sama hanyalah menjalankan pekerjaannya, berupaya bertahan hidup dalam persaingan yang kian hari kian mengetat jua. Lepas dari itu semua, dua duannya menjadi lelaki yang menjadi pahlawan bagi siapapun yang ada didalam hatinya.

Lucky di luar kamar, di dalam mobil dan sang klien si orang penting didalam kamar dalam kenyamanan yang membentangkan jarak antara kebersamaan seharian. Dan diantara sekian banyaknya kesamaan, hanya nasiblah yang membedakan.

Apa hendak dikata, kehidupan dunia memang penuh dengan aturan budaya produk manusia…

Marlboro Rocks Purwokerto 18 April 2008

Monday, April 07, 2008

Jejak pincang ditepi malam

Bintang gemintang berkerlipan di titian kabel sepanjang lapangan Merdeka mereinkarnasikan kenangan masalalu yang berhamburan dalam pencarian semu. Melesat angan pergi jauh tingalkan jasad yang dikurungi sunyi dalam gaduh malam birahi. Isi hati menyelinap pergi diantara liku bentor karatan dan kompleks makam sepanjang jalan, mencari penganan bagi dialog jiwa yang kelaparan.

Betapa mahalnya harga sebuah pertemuan yang bisa melahirkan kebersamaan, ketika jarak berkongsi dengan waktu menganiaya batin yang mengigil asing di tanah yang jauh. Telah terbiarkan diri mengecap rasa pengetahuan yang datang dari segala penjuru arah oleh mulut mulut sepanjang jalan dan kesimpulan yang menjadi property intelektual individu. Sebagian menyangkut hampa di lampion merah merah atau tercecer di baliho reobek pengiklan tirani, atau menggantung ragu bersama bintang gemintang di titian kabel membentang.

Mimpipun tan kunjung tiba ketika waktu hanya berisi realita. Duniapun pasti tahu bahwa hidup tidaklah hanya berisi keinginan dan ketidak inginan semata. Wangi parfum dan kerlingan mata mata genit hanyalah piranti biasa ketika senja beranjak pegi di tepi kota Binjai dan matahari mengerdip bersama ribuan naman dan wajah baru yang hanya melintas sesaat di teras hati.

Dewa dewa perawat nasib menyambut para penjamja selera yang menghitung rugi sebagian menimbang laba di sudut kuil tua di Kampung Keling. Orang asing menangisi jalan yang kehilangan trotoar, meraup semua pengertian dari ketidak tahuan akal.

Diantar deru kota Medan, 7 April 2008