Monday, February 20, 2006

Drowning

Tenggelam semakin dalam, dikedalaman gelap dan pengap tanpa tuan. Ribuan beling jadi pijakan dikaki, dan bara api dalam dada, juga hujan silet mengamuk dalam badai yang maha pekat. Letih terluka dan merana, diri lumpuh teraniaya. Bahkan untuk pemberontakan terakhir berupa bunuh diripun diri tak sanggup melakukanya. Sesekali letupan dikepala dari kawah hati yang tak henti bergejolak mengalirkan tangis kepedihan yang melukai siapapun yang dihadapan, disamping kiri maupun kanan. Perih membakar.

Harum bau pedang mengundang keberanian, menantang diri untuk tetap tegak sedangkan tiang tiang sandaran perlahan melemah menanggungkan beban. Kehidupan raya semakin menjauhi diri, melayang meninggalkan bumi. Lalu dimana sebenarnya kaki harus dipijakkan dan udara harus dihisap untuk kehidupan jika memang ada. Tenggelam dalam gelap, yang terasa hanya pengap. Tak ada ruang maupun garis pembatas antara kehidupan dan alam fikiran. Sama saja, pengap.

Hujan badai mengamuk makin terasa jika lapar ikut serta mendera, ikut ikutan meramaikan pesta iblis yang membusukkan jantung, paru paru dan limpa. Jalan melempang menuju kematian telah dibangunkan untuk sebuah hati yang bersikukuh menempatkan telapak kaki disepatu laki laki, kekonyolan pribadi yang mengalahkan ruang toleransi yang memiliki garis batas berupa karet fleksibel, menawar nawar nurani untuk mengampuni sang iblis yang dengan tertawa menginjak injak tanpa rasa berdosa.

Semestinya nurani menjadi wasit yang maha bijak atas perdebatan antara hati dan logika, kepentingan diri dan pertimbangan kebajikan. Tetapi nuranipun telah kehilangan wibawa, terbenam dalam arus lumpur hitam yang membutakan. Maka tinggallah sekarang logika berjibaku dengan datangnya miliaran kemungkinan masa depan, berharap dan terus berharap agar dimengerti segala kecacatan mental yang ditimbulkan. Berharap dan terus berharap bahwa manusia kembali kepada fitrahnya sebagai manusia, menempatkan diri sebagai manusia dengan kesempurnaan dan ketidak sempurnaan sebagai manusia. Sungguh berharap bahwa kekuatan yang dipaksakan akan menjadi sesuatu yang patut untuk dibanggakan bahkan dihargai sebagai sebuah nilai penyelamat bagi kehidupan.

Jauh didalam pekat hujan badai asa meraba raba mencari kesejatian diri yang perlahanpun kehilangan nilai atas kebajikan, berubah menjadi monster mengerikan yang hanya tahu menepis, melawan dan mematahkan setiap iblis yang datang menyerang. Sementara cadangan tenaga dikaki untuk terus berdiri makin menipis, dan goyah oleh mimpi mimpi buruk yang dihasilkan dari kalkulasi perlawanan yang tampaknya hanya sia sia belaka. Ya, perlawanan yang sia sia sebab diri terkapar kehilangan rasa, kehilangan tenaga dan kehilangan asa. Kalah dalam siluet kemenangan yang selalu menjadi harapan hampa.


Gempol, 060220 – ketika iblis menyekap dalam siksa sendirian.