(…sepeninggalmu aku bagai terhempas kembali ke permukaan bumi…)
Jarak telah menyeret langkah untuk saling menjauh dan waktu mengurung dalam keangkuhanya yang tidak tertembus oleh hasrat yang terus menyala nyala. Ribuan ton beban di mata kaki, memaksa hati untuk tinggal dalam hangat pelukan kasih sayang di ruang persembunyian. Tetapi tidak, pintu pintu telah menawarkan marka jalan untuk dilalui, dilewati dan ditinggalkan dalam diam yang meradang ketika ribuan kata kata menjadi prematur di tenggorokan. Tinggal pandangan mata mengabur ditenggelamkan keharuan, dan kepala yang berat dibanduli kehilangan yang tiba tiba.
Pertemuan dan perpisahan mengiris iris kenangan, menempelkan siluet kesedihan dan sukacita dalam bingkai dunia, dunia tak bertuan yang hanya berisi dua kupu kupu melanglang sekejap dari gerbong panjang kehidupan masing masing. Air mata tertabur sepanjang jalan, menyaru bagaikan embun yang luruh menampar muka setelah berjibaku dengan debu kota dini hari. Betapa rapuh dan sunyinya kesedihan yang menghuni pikiran oleh sebab tertikam perpisahan…
Stasiun tua yang itu itu juga membeku dalam penantiannya, menghitung berapa banyak hati diceraikan dan dipenggal dari kekasihnya. Arloji usang di dinding betonnya masih bekerja, menebar kecemasan bagi sesiapa saja yang tinggal dan menunggu datangnya kereta pengangkut jutaan rasa. Ciuman terakhir, sentuhan terakhir dan bisikan terakhir, sepertinya menjadi akhir sebuah cerita. Entah kapan ada perjumpaan lagi di mayapada. Diatas rakit peradaban, hidup menghanyut mengikti aturannya. Waktu membuatnya terus bergerak, berkembang dan hidup menumbuh, melahirkan cerita baru, sejarah baru dan harapan yang baru juga tragedi tragedi baru.
Sudah jadi adat bumi untuk terus bergerak, serasa mustahil berada di satu titik ketetapan dan statis dalam pemikiran. Kita hanya mengalir, menumpang diatas rakit dari jalinan pengalaman mengikuti arus yang memberi banyak ajaran tentang hidup dan cara merasakannya. Hari esok bukanlah janji, hanya satu medan waktu yang berisi teka teki. Betapa labil hidup manusia, berubah dan berkembang sebgai ekses hidup yang dikendalikan oleh dua warna kontras; hitam dan putih yang melambangkan keinginan dan ketidak inginan. Dan semua mendaur dalam satu konsep bernama alam kenyataan, buah dari harapan yang terkadang beracun penuh duri.
Inilah hidup, dengan hati sebagai pengemudinya. Berjalan, mengalir, melayang, terhempas dan mengapung lagi dalam kisaran masa yang tak tertebak. Inilah rasa, bukti bahwa hidup sangatlah berharga untuk disia siakan dalam kurungan citra…
Ciracas, 070813
Jarak telah menyeret langkah untuk saling menjauh dan waktu mengurung dalam keangkuhanya yang tidak tertembus oleh hasrat yang terus menyala nyala. Ribuan ton beban di mata kaki, memaksa hati untuk tinggal dalam hangat pelukan kasih sayang di ruang persembunyian. Tetapi tidak, pintu pintu telah menawarkan marka jalan untuk dilalui, dilewati dan ditinggalkan dalam diam yang meradang ketika ribuan kata kata menjadi prematur di tenggorokan. Tinggal pandangan mata mengabur ditenggelamkan keharuan, dan kepala yang berat dibanduli kehilangan yang tiba tiba.
Pertemuan dan perpisahan mengiris iris kenangan, menempelkan siluet kesedihan dan sukacita dalam bingkai dunia, dunia tak bertuan yang hanya berisi dua kupu kupu melanglang sekejap dari gerbong panjang kehidupan masing masing. Air mata tertabur sepanjang jalan, menyaru bagaikan embun yang luruh menampar muka setelah berjibaku dengan debu kota dini hari. Betapa rapuh dan sunyinya kesedihan yang menghuni pikiran oleh sebab tertikam perpisahan…
Stasiun tua yang itu itu juga membeku dalam penantiannya, menghitung berapa banyak hati diceraikan dan dipenggal dari kekasihnya. Arloji usang di dinding betonnya masih bekerja, menebar kecemasan bagi sesiapa saja yang tinggal dan menunggu datangnya kereta pengangkut jutaan rasa. Ciuman terakhir, sentuhan terakhir dan bisikan terakhir, sepertinya menjadi akhir sebuah cerita. Entah kapan ada perjumpaan lagi di mayapada. Diatas rakit peradaban, hidup menghanyut mengikti aturannya. Waktu membuatnya terus bergerak, berkembang dan hidup menumbuh, melahirkan cerita baru, sejarah baru dan harapan yang baru juga tragedi tragedi baru.
Sudah jadi adat bumi untuk terus bergerak, serasa mustahil berada di satu titik ketetapan dan statis dalam pemikiran. Kita hanya mengalir, menumpang diatas rakit dari jalinan pengalaman mengikuti arus yang memberi banyak ajaran tentang hidup dan cara merasakannya. Hari esok bukanlah janji, hanya satu medan waktu yang berisi teka teki. Betapa labil hidup manusia, berubah dan berkembang sebgai ekses hidup yang dikendalikan oleh dua warna kontras; hitam dan putih yang melambangkan keinginan dan ketidak inginan. Dan semua mendaur dalam satu konsep bernama alam kenyataan, buah dari harapan yang terkadang beracun penuh duri.
Inilah hidup, dengan hati sebagai pengemudinya. Berjalan, mengalir, melayang, terhempas dan mengapung lagi dalam kisaran masa yang tak tertebak. Inilah rasa, bukti bahwa hidup sangatlah berharga untuk disia siakan dalam kurungan citra…
Ciracas, 070813