Monday, November 17, 2003

Malam Terbelah Dua

Ingatan,
Tumbuh menumbuhi hati dengan kenangan- dengan penjuru cinta yang kupertanyakan sendirian –
Orang orang,
Wajahnya berloncatan memburu kasihku (atau iba??) berebut merajang – rajang nuraniku yang memekik sakit, karam dilautan wabah sesal, dan waktu tak hanya seperti udara dalam balon, ia mengalir berputar menembusi pintu dan jendeal labirin (atau mungkin berjalan seratus triliun dari kelambatan – siap tahu?!)

Telah kutelan kenistaan kemudain banmgga, pinvcang jadi pahlawan sampai kebanmggaanku memancung sendiri kebanggan yang lain. Aku terpenjara di kandan besar kecurangan yang mencurangi kecuarangan lain lagi. Tindih menindih bagai angan angan belaka.

“pernah kuleburkan darah, daging dan cinta birahi denganmu, arjunaku, dank aku hanya ingin darah , daging dan cinta birahiku kembali menjadi hakku. Engakau telah merampasnya dengan keji. Brengsek!”
ucap debu dari utara yang sengaja engaku kirim lewat akhir musim kemarau…

…berhenti, jangan lagi dorong aku ke pojokan, wahai kebaikan nurani…

“ Tidak cukupkah aku menjadi budak menebus khlafku ketika kau ingkari punyamu, mengabdi pada penghianatanmu jua”
Ucap titik gerimis dari timur yang luruh di daun talas hatiku…

… enyah kau kemunafikan, bawa pergi kesombongan yagn membangun tugu bernama rasa malu…

Tuhan ijinkan aku,
Membelah malam menjdai dua dengan pedang akal pemberianMu.
Biar kubagi pada dua hati yang berkelahi sengit dalam hatiku.
Ampunkan aku dari murka-Mu.

Gang Bambu, 17 November 2003

Saturday, November 15, 2003

Monyet di Planet Aneh

Maka akupun sepakat untuk datang ke acara buka puasa ex-shields di camoe camoe café panglima polim meskipun aku sendiri nggak puasa. Yang penting semangat kebersamaan.Semu.
Dan inilah aku, celingukan diantra 20an orang yang memang sempat kukenal di shields dulu, tetapi aku menjadi monyet ditengah arena kegembiraan dan hysteria. Aku menjadi monyet diplanet aneh!
Dua jam buatku seperti tersesat dikomunitas aneh, aku lebih banyak membaca mimik mimick yang berada disekitarku, dan berharap ada dikamar kostku dengan buku pinjaman yang tengah kubaca, tenggelam dalam ceritanya.
Ah, komunitas Jakarta, aku bukan salah satu dari mereka ternyata!
Bahkan tetet pun begitu menyakitkan sikapnya. Tidak ada jabat tangan ataupun sapaan salam. Hysteria menenggelamkanya dan menjadikanku sebagai debu, luruh dikaki bangku restoran.
Aku menyesal telah meyakini diri bahwa aku sebangku dengan mereka, bahkan aku seoksigen dunia dengan mereka.
Bukan, bukan untukku dunia dan pribadi pribadi itu.