Tuesday, April 18, 2006

Piala Plastik untuk Juara Plastik

(Terjadi di sebuah Sekolah Dasar Negeri masa kini…)
Sebuah korporasi produk minuman berafiliasi dengan sebuah penerbit majalah anak anak menggelar bermacam lomba ketangkasan bagi murid murid sekolah dasar. Guru guru sibuk mempersiapkan perwakilan sekolahan dan melatih mereka tiga minggu sekali setelah selesai jam pelajaran, beberapa siswa yang entah atas pertimbangan apa dipilih untuk mengikuti lomba. Hanya sekitar 30 anak dari 240an muridnya. Lokasi lomba; nun jauh dari sekolahan, seratus kilometer arah timur laut. Para orang tua yang kebetulan belum memiliki kendaraan pribadi silahkan kasak kusuk mencari tumpangan kepada orang tua murid lainya yang kebetulan punya. Atau kalau memang tidak cukup nyali untuk kasak kusuk, silakan gigit jari karena sekolahan hanya menyediakan transportasi bagi siswa, sewa dua buah angkot.

Tiga minggu persiapan yang melelahkan, hingga datang hari perlombaan. Peserta dari puluhan sekolahan, melombakan berbagai ketangkasan khas anak anak mulai dari lari berantai membawa bendera, memasukkan bola ke keranjang yang diberi tiang, mengelompokkan bola bola dengan nama bahasa inggris ke tiga keranjang berbeda, hingga melempar gelang gelang ke patok kayu. Semua bergembira tampaknya, ratusan anak dan orang tua bersorak sorai dibawah matahari Cikarang yang panas ngangas angas. Selebihnya, semua orang boleh membikin acaranya masing masing, melepaskan diri dari kelompok besar dari sekolahan. Lomba selesai, mengakhiri masa latihan selama tiga minggu.

Sesudahnya tak ada pembicaraan mengenai lomba, kecuali petualangan asyik main prosotan air di waterboom. Entah apa maknanya lomba, siapa yang menang dan kalah, kriteria penilaian dan hadiahnya. Tak ada informasi tersedia. Sisa waktu usai lomba terisi dengan keasyikan bermain air bahkan esensi kedatangan ketempat rekreasi keluarga itupun sudah tak lagi menjadi penting. Dan ketika waktu tak terbendung melaju, hari berjalan seperti kebanyakan, seperti kebiasaan. Dari pagi ke siang lalu sore lalu malam dan seterusnya hingga dua minggu kemudian kabar dari sekolahan: semua yang ikut lomba diharap membeli piala seharga enampuluh ribu rupiah!

Sebagian anak baru pertama kali seumur hidup mereka mendengar kata “piala”, dan terbiasa menjadikan anjuran sebagai kewajiban. Maka orang tua anak memiliki kewajiban baru yaitu membeli piala seharga enampuluh ribu rupiah. Dunia anak anak memang sangat pragmatis. Harus beli karena yang lain juga beli, malu dan rendah diri apabila tak ikut membeli.

Bibit bibit pengemban kelangsungan kehidupan itu diracuni dengan menyepelekan ajaran moral dari sebuah piala, sebagai lambang penghargaan atas sebuah prestasi individual (ataupun kelompok). Ia insentif bagi semangat juang yang menghasilkan sebuah keteladanan, kemudian melahirkan penghargaan. Hanya dengan berjerih payah, usaha keras dan perjuangan berat piala boleh menjadi hak. Proses peraihanyapun melalui kriteria yang jelas dan standard penilaian yang transparan, bukan sekedar lambang partisipasi atas sebuah kegiatan. Nanti, maka akan tertanam di pengertian si anak bahwa piala adalah lambang penghargaan dengan pengorbanan beberapa lembar uang. Bisa dibeli dan mudah mendapatkanya.

Entah kemana sensitifitas para pendidik itu yang mengajarkan pelajaran moral dengan nilai materi dan bersifat instant seperti itu. Semestinya nilai semangat dan sportifitas ditanamkan sejak anak anak mengenal dunia, bahwa hanya sedikit dari banyak peserta yang berhak atas piala sebagai penghargaan peringkat tiga besar juara, dan harus rela menerima kalau toh diri belum layak menjadi juara. Ketangkasan itupun adalah kerja kolektif, mulai dari para guru pembina hingga rekan rekan peserta, jadi seharusnya pula piala dianugerahkan kepada satu kelompok atas nama, menjadi kebanggaan bersama dan alih alih sebagai ajaran moral bahwa kerjasama kelompok bisa menghasilkan prestasi, bahwa persatuan regu itu penting lebih penting ketimbang kerja individual berdasarkan sifat.

Walhasil sebuah piala dari plastik cetakan berwarna biru kombinasi keemasan setinggi 60 senti menjadi pajangan sudut ruang tamu. “juara tiga lomba ketangkasan bla bla bla…”. Kuning berkilau menyilaukan mata atas kesederhanaan telaah akar nilai. Cuma plastik hasil dari daur ulang sampah non organik, piala plastik bagi juara plastik, piala plasu bagi juara palsu. Sebuah degredasi nilai yang memprihatinkan.

Gempol, 060418