Wednesday, June 21, 2006

Anak

Anak sebagai wahyu, titipan sekaligus amanah selayaknya memiliki tempat tinggi dalam kehidupan keluarga maupun dalam komunitas sosial. Eksploitasi terhadap kelemahan dan ketidak mengertian anak terhadap tetek bengek kehidupan adalah sesuatu yang sungguh keji. Setiap orang dewasa pasti pernah memiliki masa kanak kanak, tetapi sayangnya banyak orang dewasa pura pura lupa bagaimana menjadi anak anak dengan kemampuan menganalisa dan pengertian terhadap pengalaman yang baru sedikit. Orang tua yang melakukan kekerasan fisik terhadap anak jelas mengidap penyakit mental, kelainan nurani yang kronis. Tindakan itu juga sebenarnya menciptakan dunia kekerasan berlipat ganda bagi kehidupan si anak itu sendiri. Dengan dalih apapun, kekerasan terhadap anak bukanlah cara bijak membentuk masa depanya. Bukankah masa kanak kanak adalah penopang kedewasaanya kelak?

Orang tua yang merasa lebih berpengalaman dan lebih tahu tentang segala hal juga terkadang memanfaatkan situasi itu dengan sangat picik. Perceraian, adalah contoh paling gampang kita temukan dimana kepentingan si anak tidak mendapatkan posisi yang semestinya; sebagai dasar dari setiap pertimbangan pengambilan keputusan. Selamanya perceraian adalah cara ekstrim penonjolan egoisme suami istri, yang memunafiki fungsi sosial sebagai induk psikologis maupun biologis dari sang anak. Ketika perceraian terjadi, otomatis anak anak secara psikologis akan kehilangan sebelah kaki. Dia akan berjalan pincang menjalani hari harinya kedepan dengan rasa kehilangan. Dalam hal ini, anak tidak diberikan hak pilihan. Orang tua semacam ini hanya berfikir tentang diri mereka sendiri, dan memandang anak sebagai tanggung jawab materi. Dan perceraian hanyalah kekerasan psikis terhadap anak semata. Selamanya, kekerasan dilakukan oleh siapapun yang lebih kuat terhadap siapapun yang lebih lemah.

Seyogianya, anak memiliki kedudukan tertinggi dalam rumah tangga. Resolusi atas konflik yang terjadi seharusnya mengedepankan kepentingan sang anak karena menjadi orang tua berarti juga mengambil konskwensi sebagai penanggung jawab kehidupan sang anak. Anak anak hanya tahu mencintai dan dicintai, mereka tidak punya kepentingan lebih tinggi selain belajar tentang segala hal dari apa yang dialami dan dijalaninya. Tidaklah sulit menempatkan anak sebagai malaikat penyelamat, jimat penguat dan sahabat karib bagi si orang tua selama kepentingan anak menjadi prioritas utama. Penempatan anak pada posisi mulia seperti itu juga menjadikan orang tua memiliki mercu suar perilaku dengan selalu memperhitungkan dampak terburuk terhadap si anak ketika mengambil sebuah sikap.

Orang tua adalah guru kehidupan, cermin panutan bagi anak. Orang tua yang buruk akan menciptakan generasi yang buruk dimasa depan, dan sebuah kehidupan dunia yang suram telah menjadi janji untuk ditepati di kemudian hari. Menjadikan anak ‘pangeran’ ataupun ‘puteri’ dalam keluarga akan memberinya motivasi untuk mencintai hidup, mencintai sesama dan kehidupan. Pengajaran yang benar tentang toleransi dan rasa hormat terhadap mahluk hidup akan menciptakan pribadi pribadi yang peduli terhadap isi bumi. Sikap orang dewasa kepada anak anak, adalah cermin kedewasaan yang sesungguhnya.

(tulisan ini sebagai ekspresi keprihatinan terhadap rasa bangga yang ditonjolkan pada sebuah acara infotainment tentang perceraian, betapa anak hanya menjadi figuran dalam kepentingan dua orang tua mereka yang hanya menuruti ego. Tidak malukah public figure ini dengan gemerlap pesta pernikahan a la raja raja yang dilangsungkan beberapa tahun silam sebelum si anak ada di dunia atas prakarsa mereka?)

Gempol, 060620