Thursday, May 08, 2008

Ranting Patah Si Pohon Rindang

: sahabat hati

Sangkakan rinai gerimis selimutkan sejuk kesegaran, rupanya yang datang curah hujan sekepalan sekepalan tangan. Bagaimana lagi mesti menghormat ketika kepala telah merunduk serendah mata kaki, merelakan arogansi ego merontok oleh pengharapan akan sebuah penghargaan. Telah menyengaja kokoh menjadi penjaga hati rapuh laksana sebutir telur, menyembunyikan air mata kepasrahan di setiap jamban singgahan. Aku telah begitu keji membunuh egoku sendiri sebagai bukti tertinggi nilai cintaku padamu dan apa yang telah terbangun sepanjang usia perkawinan.

Lama lama aku menjadi budak yang bertuankan ketaatan kepada nilai nilai sesuai aturan kepantasan, tatanan perdaban. Aku rela memperbudakkan diriku padamu, itupun sebagai bukti betapa aku mencintai dan menghormatimu. Aku menyembunyikan sedihku atas ketidak mampuanku mengurai simpul simpul kemacetan di dalam sindroma demotivasi laki laki yang terjadi di dunia batinmu, kekasihku.

Hari ini ada kesedihan datang, hati perih terinjak injak oleh sikapmu yang seperti layang layang kehilangan kekang. Sebaik baiknya kewajiban telah terbayar tunai sejak subuh hingga petang, memanfaatkan keberuntungan yang langka di kehidupan. Andai aku bisa memberi pasti engkaulah orang pertama yang akan kubagi. Tetapi Tuhan memberikan apa yang tak bisa terbagi dengan individu lain. Tuhan menganugerahi kita dengan property intelektual yang kini menjadi pupuk penyubur yang memberi kehidupan atas dunia kecil; perkawinan kita. Tetapi bahkan pupukpun telah sengaja kau pilih untuk menjadi kambing hitam si penerima kesalahan ketika usia merongrong perlahan.

Pohon rindang, peneduh segala kesenangan, surga kecil ditengah ganas gurun tak bertuan, rantingnya patah tertebas tajam pedang atas nama dominasi gender. Patah melayu, getahnya meleleh menyusuri lekuk lekuk dan pori pori kenangan dan penyesalan. Kekecewaan memproduksi rasa sakit hati sebagai akibat dari pengharapan yang menemui pepesan kosong, bertepuk sebelah tangan, kecele yang menyedihkan. Luka parah sampai ke ujung darah hingga tabib satu satunya yang paling sakti hanyalah sang waktu. Waktu akan rajin memberi asupan gizi pengalaman pengalaman baru, hingga sampai pada satu moment yang mengamini ketika bathin merasa bahwa hati yang pecah, ranting yang patah hanyalah satu dari cerita kejadian yang harus terjadi, harus dialami. Sang waktu akan dengan sendirinya meracik obat sakit hati dan memberikan kesembuhan. Dan setiap kesembuhan melahirkan rasa syukur yang amat mendalam, betapa kesulitan telah memberi kemudahan untuk melintas di jalan kehidupan yang makin terjal.

Bertahanlah sahabat hatiku, di setiap tepi mendung tebal selalu ada garis keperakan, pertanda kecerahan tetap ada di balik gelapnya dukamu saat ini. Biarkan sang waktu menjalankan tugasnya, mencatat setiap kejadian yang dialami bathin manusia, lalu menorehkannya pada dinding zaman sebagai cerita manusia, para pelakon sandiwara bernama kehidupan dunia.

SCBD - 080507