Thursday, January 26, 2006

Psikotis

Apakah orang yang telah mengalami peristiwa mengerikan akan dengan mudah pulih, apakah bara dalam sekam itu sungguh-sungguh padam? Apakah individu tersebut sudah siap untuk berinteraksi seperti dahulu lagi, bebas dari kebencian, sakit hati dan rasa takut berlebihan.

Gerakan rekonsiliasi telah menyatukan kembali berbagai masyarakat di kancah peradaban dunia. Namun, apakah telah menyatukan keperibadian sesorang yang telah tergores bahkan terpecah oleh luka yang mendalam? Peristiwa traumatis jika tidak disembuhkan akan memberikan dampak yang mendalam, yang akan menjadi bayang yang selalu mengikuti orang yang mengalaminya. Bayang yang mengikuti tersebut akan merusak hubungan sosialnya, relasi dengan keluarga, rekan kerja bahkan dengan dirinya sendiri

Rekonsiliasi pihak yang berkonflik perlu disertai rekonsiliasi batin. Rekonsiliasi yang bersifat sangat personal, yang terjadi dalam batin individu. Rekonsiliasi batin ini dibutuhkan agar individu yang telah melalui perjalanan pahit, menjadi pribadi yang utuh dan sehat serta siap kembali ke keluarga dan masyarakatnya.

Otherwise, dia akan menjalani sisa hidupnya dalam kepincangan psikis, cacat mental secara permanen dan menjadi ganjil dilingkungan sosialnya, bahkan menjadi psikotis, orang gila yang tak diurus pemerintah mengembara dijalan jalan dengan dunia yang hilang dibalik kepalanya.

Kenapa orang bisa menjadi gila, kehilangan akal dan ingatanya? Symptom kegilaan pasti ada gejalanya seperti scizofrenia, insomnia maupun hysteria. Tetapi pada tahap ‘gejala’ itupun sebenarnya jiwa sudah terganggu, masuk pada stadium awal gangguan kejiwaan yang lebih umum disebut gila atau lebih lazim dibilang ‘stress’, sinting padahal dia hanya kehilangan fikiran rasionalitasnya, kehilangan logika.

Orang yang gila memiliki dunianya sendiri, dengan halusinasinya sendiri, tidak peduli dengan keadaan sekitar dan kehilangan respon sosial. Awal dari kegilaan semacam ini adalah tekanan bathin yang luar biasa untuk ditanggungkan, perasaan perasaan negatif yang datang menghimpit di kehidupan nyata, kehidupan peradaban dunia.

Orang orang yang berjiwa lemah, yang merasa haus akan perlindungan dan maupun akar kepribadian sangat rentan terhadap tekanan sejenis ini. Bisa juga karena tekanan yang datang tiba tiba, seperti tak tertanggungkan. Lepas dari kacamata patologi, idealnya kehidupan jiwa, kehidupan bathin memiliki fondasi ‘iman’ atau keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan, bahwa semua yang terjadi dimuka bumi, adalah kehendaknya semata.

Tekanan bathin hanya datang ketika ketidak adilan, ketidak berdayaan mencari penggugatan pada diri sendiri, tidak bisa berhadapan dengan kenyataan karena akal yang terlalu jeli melihat ketidak mungkinan yang ternyata menjadi kenyataan; menjadi mungkin. Pelepasan diri dari tekanan yang mematikan logika itu bisa menjadi perkelahian diam diam yang sangat menyakitkan.

Psikotis, merekalah orang orang malang yang tak sanggup lagi menolong dirinya sendiri, dan tak ada satupun tangan yang peduli untuk sekedar meringankan himpitan bathinya. Barangkali dia terbebas dari siksaan beban bathin, dan yang pasti tidak menyadari, banyak mata sehat justru tak melihatnya sebagai manusia, sebagai sesama.

Semoga rahmat Tuhan tercurah kepada orang orang yang menderita itu.

Warung Nabiel, ketika pintu dunia kegilaan mulai terlihat terbuka, 060126

Ketika tak lagi sanggup berdiri

Ketika kaki tak kuat lagi menopang untuk berdiri, maka waktunya membiarkan lutut mencium tanah bumi. Membiarkan hati rebah ketanah, tinggal berharap dan hanya berharap. Diam, biarkan sepi mengelilingi sehingga hanya isak tangis paling bisu yang terjadi. Rubuhkan kesombongan diri, tunduk takluk pada keagungan sang pemilik semesta kehidupan; Gustialah (baca: Gusti Allah).

Membiarkan sunyi mengurung bathin, justru mendatangkan jutaan iblis yang berpesta pora mentertawakan dan menyiksa. Ataukah hanya diri yang terlalu menganggap kesempurnaan menjadi hak milik hingga beban menjadi begitu berat terasa?

Jalan kedepan yang gelap dan tak tertebak tetap jadi tempuhan, kaki yang kelelahan harus segera dibiasakan untuk menerima rute perjalanan, meskipun harus melewati lumpur dan bebatuan, bahkan kadang tenggelam dikedalaman kubangan air, mendaki dan menuruni lembah sendirian. Itulah kehidupan, kata teman yang hanya tahu penderitaan dari judulnya, bukan dari penghayatan.

Ketika kaki tak sanggup lagi berdiri, kalbu mengadu meminta dikasihani. Air mata tak mungkin kering karena dia ada sebagai lambang kelukaan yang tak terlihat mata, bukan sekedar cairan pencuci pipi. “Menerima, menerima, menerima. Ikhlas, ikhlas..ikhlas…” nurani terus memompakan sloganya. Mengharap hati sudi mendengarkanya. Sedangkan logika mencak mencak merasa dipecundangi oleh orang yang justru dilindungi.

Dan ketika lutut tak lagi sanggup menyangga beban, biarkan diri duduk bersimpuh, menikmati keberagaman keperihan yang datang bertubi tubi dalam sanubari. Kiranya diri tak sekuat yang disangka, kiranya hati tak seperkasa yang diduga.

Lalu biarkan semua peristiwa tertayang, semua catatan perjalanan terkuakkan, bahwa ini hanya perjalanan biasa menuju kematian, bahwa Tuhan yang memberikan semuanya kepada diri termasuk kebahagiaan yang pernah ada juga ketika kebahagiaan direnggutkan. Bahwa kehilangan inipun miliknya jua. Sungguh diri tak berarti apa apa.

Duh Gustialah,
Ampunkanlah hamba, atas kesombongan diri dan ego yang menjadi pisau tajam penyiksa diri. Juga ampunkanlah dia laki laki yang menyepelekanku, menganggapku hanya debu semata. Ampunilah ketidak mengertianya, dan berikanlah rahmat dan karuniamu bagi kemuliaan hidupnya. Dan kepada perempuan yang mendustai, juga menganggapku hanya kertas pembersih lubang anusnya, ampunilah ketidak mengertianya tentang tenggang rasa, berkatilah dia dengan rasa kemanusiaan yang wajar dan muliakanlah kehidupanya. Jauhkanlah mereka berdua dari kesengsaraan dan penderitaan bathin dunia, ya Gustialah…

Ya Gustialah,
Ampunkanlah kami, para pendosa yang kotor dengan segala kepentingan diri, menganggap Engkau ada hanya untuk mengawasi….
Ceger on an empty morning, 060126.