Tuesday, February 07, 2006

Truth is the real answer

Pikiran adalah bumerang, ketika jawaban yang sesungguhnya adalah kebenaran. Dia seperti air menelusup dianatara akar dan celah tanah mengering mencari kesejatian. Dan ketika kebenaran ditemukan sebagai jawaban kesemestian, ia terkadang bermakna juga sebagai palu godam yang melumpuhkan kaki, meremukkan tulang belulang.

Adalah akal semata yang memaksa hati untuk terus bergerak mencari, mendesak sampai kedinding ego yang menjulang tinggi hingga penyok penyoklah nilai diri tergencet oleh dorongan hati dan kukuhnya ego yang semestinya melindungi nurani. Peperangan dalam ruang bukanlah futsal, permainan demi kesenangan. Dia adalah perkelahian panjang yang menghancurkan diam diam.

Hati memang tak selamanya memberikan pilihan terbaik, meskipun janji kebanggaan bahwa ego sanggup tertaklukkan dengan sakit hati dan katakanlah pengorbanan atas sebuah kepribadian. Keletihan mental yang melumpuhkan dan membutakan terkadang justru menjadi satu satunya keadaan yang harus ditelan, sebalum dibagikan kepada teman teman yang datang merubung menaburkan benih simpati di sanubari.

Ya, ego hanya memperjuangkan haknya atas kebahagiaan yang terampas semena mena, sementara hati menawarkan kebanggaan atas laku sang Nabi. Terus mendorong untuk tidak melakukan perlawanan, membujuk logika agar mau berkompromi bahwa semua hanyalah buah dari bebijian pekerti yang tersemai dimasa silam. Ego yang congkak terus saja merajuk, bahwa tidaklah sepadan lagi antara benih yang tersemai dan buah yang harus terpetik. Tetapi bukankah sebutir gabahpun menciptakan seuntai padi dengan puluhan butir gabah menempel disana?

Kebenaran memang selalu jawaban yang paling tepat atas pertanyaan. Sayangnya kebenaran terkadang harus mengalami transformasi nilai ketika ia didapatkan dari cara air yang menelusup dicelah tanah kering yang membelah, mencari kesejatianya dengan bantuan akal logika. Kebenaran yang menempati kodratnya sebagai kebenaran sejati, bukan karangan. Ada juga kebenaran yang terlambat untuk ditemukan, ketika semua sikap telah dipersiapkan untuk jawaban yang diyakini sebagai kebenaran kejadian. Jika itu terjadi, maka hidup, nurani, kepribadian tak lebih hanya sebuah alat permainan dari nurani korup yang dipenuhi belatung, menggerogoti nilai akan makna menjadi manusia berakal budi.

Gempol, 060207