Monday, April 13, 2009

Kehilangan

Setiap kali peristiwa kehilangan baik besar maupun kecil pastilah menimbulkan efek benturan yang mengejutkan, diawali dengan ketidak percayaan dan diakhiri dengan memaksakan harapan hal yang hilang akan diketemukan kembali. Sesuatu yang dierenggutkan paksa lalu diceraikan dari partikel pengisi kehidupan kita pastilah akan mengejutkan dan menyakitkan. Menyakitkan karena kita tidak mengharapkan hal demikian terjadi dan kita alami, bahkan kita tidak sempat mengantisipasinya. Daya rusak yang timbul dari sebuah kehilanganpun sangat tergantung dari bagaimana kita menempatkan nilai sesuatu dalam inventory kehidupan. Tiang patokan paling sederhana dan tidak akan bisa kita pungkiri adalah kebenaran bahwa ketika kita dilahirkan, tidak ada yang menemani perjalanan kita, tidak memiliki benda apapun, dan tidak pula dengan pikiran apapun.

Sang waktu yang memberikan kita hak istimewa untuk tumbuh menjadi mahluk berakal yang terkadang terlalu mudahnya kita mengklaim sesuatu sebagai property pribadi, seolah olah kitalah yang mentasbihkan segala hal yang kita miliki adalah mutlak milik sendiri. Kesombongan semacam itu kerap meracuni darah dan memunculkan perilaku ambisius, materialistik dan yang pasti posesif habis. Tidak ada segala sesuatu dalam hidup ini yang mutlak menjadi milik kita, bahkan nyawa yang memberikan kita privilege untuk berkontribusi dalam berjalannya peradaban umat manusia. Segala yang terlahir akan mati, segala yang datang akan pula hilang. Masing masing dimainkan oleh sang waktu yang memiliki semua jawaban atas teka teki sebarang hal yang tersembunyi dan menjadi misteri bagi kehidupan.

Mendefinisikan nilai kerugian dari sebuah proses kehilangan barangkali bisa dibedaakan menjadi tiga potong kue besar; kehilangan orang atau pribadi yang terlibat dalam kehidupan emosional kita, kehilangan harta benda materi yang selama ini menjadi pelengkap penegasan status sosial, dan kehilangan hal yang bukan berupa manusia (orang) maupun materi. Jenis kehilangan yang ketiga inilah yang paling berbahaya dan bisa mengancam kesehatan jiwa, berpotensi merusak struktur kerja otak yang mengatur produksi akal sehat. Kehilangan yang terjadi hanya di soal rasa, entah kehormatan, entah kebanggaan, entah harga diri, yang disimpulkan secara sederhana menjadi; kehilangan muka di komunitas!

Setiap kejadian kehilangan yang kita alami sebenarnya hanyalah ujian ujian kecil sampai kita benar benar kehilangan hal sebenarnya yang kita miliki sebagai titipan Tuhan, kehidupan itu sendiri! Dan siapapun tidak akan pernah siap untuk menerima kehilangan, kecuali mereka yang sanggup mendifinisikan bahwa hidup kita hanyalah titipan dariNya belaka. Keluarga yang mengikat hati, harta benda yang kita kuasai, jabatan yang memberikan kita kuasa kendali, sejatinya itu semua bukanlah milik kita. Kita hanya diberi hak untuk mengelola saja, merawat dan siap dicabut status kepemilikannya kapanpun tanpa kita tahu. Bukankah setiap hari kita kehilangan jatah waktu yang berubah menjadi batu masalalu? Batu masalalau yang sebagian menjadi ukiran sejarah perjalanan dan sebagian kita gendong disayang sayang sebagai beban termasuk beban atas sebuah kehilangan.


Disekeliling kita dan kita saksikan dengan nyata, selalu ada orang yang kehilangan lebih besar dan menanggungkan kerugian lebih parah daripada kehilangan yang kita alami. Pengalaman ini mungkin bisa kita jadikan perban peredam perihnya rasa kehilangan sesuatu yang kita miliki. Maka akan baik apabila setiap kehilangan kita mempertanggung jawabkanya kepada Dia sang pemilik sejati, serta bermohon agar Dia yang pemurah segera memberinya kita pengobat hati…


Bambuapus, 090409