Saturday, March 18, 2006

Kursus Budi Pekerti

Demonstrasi mahasiswa Universitas Cendrawasih di Abepura Papua yang menuntut penutupan PT Freeport McMoran berakhir rusuh, empat nyawa aparat negara menjadi tumbal dibantai beramai ramai. Peristiwa barbar itu menyisakan kesan mengerikan, sebuah tragedi yang ironis. Tragedi kerena sedemikian brutal yang mengakibatkan kepiluan panjang, ironis karena justru dilakukan oleh mahasiswa terhadap aparat hukum, alat negara pengawal ketertiban dan keamanan.

Mahasiswa dalam pengertian harafiah adalah intelektual yang mengedepankan sikap sikap rasional. Secara lebih idealis mahasiswa adalah kader kader yang diharapkan mampu membawa bangsa kearah perbaikan. Jenjang pendidikan sampai di tingkat itu secara sederhana juga pasti memahami hukum hukum materi yang berlaku dalam peradaban manusia. Tetapi yang kita lihat ditayangan tivi itu samasekali mencerminkan kebalikan dari teori teori tersebut. Kita disuguhi tontonan mengerikan, dimana sekelompok petugas yang ragu dikepung dan dibantai oleh ribuan orang mahasiswa. Dan dalam keadaan tak berdaya sekalipun si petugas yang tidak dilengkapi senjata kecuali pelindung tubuh merka masih direjam dengan cara primitif dan sadis.

Sungguh kelompok demonstran itu hanya mengandalkan semangat kriminalisme, mengabaikan aspek hukum apalagi tenggang rasa. Mereka bangga menjadi primitif sehingga sangat tolol untuk sekedar mengerti dan menempatkan diri sebagai mahasiswa yang semestinya dalam komunitas peradaban berada pada derajat yang terhormat. Pemaksaan kehendak dan penggunaan kekerasan (anarkisme) mencerminkan betapa rendah budaya zaman jahilliyah tersebut. Status sosial sebagai mahasiswa hanya tempelan tanpa pemahaman yang memadai.

Ilmu ilmu yang mereka serap dari bangku kuliah hanya menghasilkan kekerasan dan pelanggaran terhadap aturan sebuah negara, sebuah lembaga dimana harus ada rakyat, pemerintahan dan wilayah. Tuntutan penutupan tambang emas dan tembaga rakasasa terkesan sekedar ‘kehendak’ mereka, tanpa memikirkan dampak lain yang akan timbul kalau Freeport harus tutup tiba tiba. Pastilah di kampus mereka juga diajarkan tentang efek domino dari penutupan sebuah tambang raksasa yang menyangkut harkat hidup ribuan orang pekerjanya, bahkan barangkali sampai kepada hal hal yang bersifat politispun mereka pelajari. Pelajaran diambil sebagai landasan ilmiah untuk meluruskan sekaligus mengawal proses bernegara dengan semangat untuk bersama, sekian ratus juta orang dari Sabang sampai Merauke. Ah, barangkali memang mereka berkuliah hanya supaya dapat gelar, dapat sertifikat dan nantinya dapat pekerjaan. Atau memang diajarkan kurikulum pelajaran membunuh polisi? Pantaslah kalau begitu apa yang mereka perbuat!

Konflik horizontal panjang di Papua memang (barangkali) mempengaruhi impresi mereka terhadap penegak hukum. Tetapi seharusnya mahasiswa mengerti betul bahwa petugas petugas itu hanya alat untuk mengawal ketertiban dan mengayomi masyarakat suatu negara. Dibalik figur tugas itu, mereka adalah individu individu yang hanya ingin berbakti kepada negara, tumpah darahnya. Petugas itu bergerak kaku dengan koridor HAM yang sangat ketat, sedangkan mahasiswa penyerangnya tak memiliki itu samasekali. Petugas petugas itu, mereka menjaga agar garis batas HAM tidak terlewati dan pada saat yang sama mereka tidak berada didalam naunganya. Ironis!

Mahasiswa, anarki, criminal…sebuah krisis akhlak yang seharusnya menjadi tombol waker bagi kita semua, betapa bangsa ini sudah memerlukan sebuah kursus sederhana tentang budi pekerti, tenggang rasa dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku dimasyarakat suatu pemerintahan dalam wilayah negara Indonesia. Akal yang maju hanya akan jadi penghancur jika tak disertai akhlak yang baik. Kalau itu juga belum bisa difahami, barangkali memang harus setiap hari setiap kader pemimpin itu digembleng dengan doktrin berjudul tenggang rasa saja cukup. Atau kita akan menumpas anak cucu kita sendiri dengan menaburkan kader kader penentu karakter bangsa ini ditangan primitivisme?

(Sebagai ucapan berbelasungkawa kepada empat orang anggota keamanan negara yang tewas dalam pembubaran pemblokiran jalan di Abepura pada 16 Maret 2006)