Thursday, January 10, 2008

Altar Langit

Jejak menciptakan jarak, melewati kenangan, mimpi dan kesakitan. Badan telanjang tak bertuan, menguliti kesendirian dengan khayal tentang kekasih pujaan yang tak ada. Di lautan yang bergoyang ia berlayar dengan perahu egonya, jutaan mil jauhnya dari kenyataan. Terbang mengambang, sirna gravitasi, lupa persenggamaan. Pantulan kaca cermin dengusan alam menemani sepanjang pengembaraan rahasia, hingga membentur dering telepon yang kepagian.

Malam ini langit bening menjadi milik para bidadari yang kesepian. Kebat kebit menanti munculnya sang pangeran datang membawa luka dari pertempuran menaklukkan kenyataan. Ternyata menerima kenyataan tidaklah semudah yang dibicarakan. Keikhlasan tidak datang dengan di desain sebelum lahir premature dari nurani. Jika dipaksakan bisa mati. Mati tanpa kehidupan, kematian rasa kemuliaan yang pernah menjadi kebanggaan. Perasaan telah dibayarkan dengan hukuman tikam seumur hidup dan menjadi martir yang tak pernah dikenal. Sesuatu akan tumbuh dalam lindungannya dimana sebuah dunia sedang dalam proses penciptaanya. Kita semua adalah dalam proses penciptaan belaka.

Mengenangkan wajah ayu yang bertuba adalah mengenangkan penganiayaan sepanjang hidup. Hanya topeng, dari bopengnya hati sang khianat durjana. Dinding langit kampung sunyi menyimpan gambar kesakitan dan tangisan penuh kepedihan. Ditinggalkan sebab hidup berjalan ke depan. Masa lalu sejatinyalah bangkai yang menyesatkan pikiran, menganak pinakkan dendam yang kelak menjadi penguasa badan, dengan mental menjadi bulan bulanan demit.

Hati mengalir, mengikuti takdir. Waktu berlalu, mewarisi manusia ilmu. Kebahagiaan dan penderitaan mempertentangkan kekuatan menjadi penguasa. Keduanya sampyuh dalam makna, kembar siam yang tak disadari dimana bertautan abadinya. Kita tidak bisa merasakan derita sampai kita merasa kehilangan kebahagiaan kita. Kesederhanaan dan ketersediaan membahagiakan hati. Lalu kekecewaan dan sakit hati menghampakan ruang pikiran, terkadang. Kepedihan meruntuhkan kebahagiaan, dan disaat lainnya kebahagiaan menaklukkan penderitaan; pabrik asli dari kepedihan.

Perang besar tak henti berkobar, menghimpit batok kepala dengan jerit kesakitan dan kadang makian. Kaki terbelenggu, tanganpun terikat paku, seluruh kekuatan otot dan syaraf memberontak atas kecurangan nasib yang melenceng dari pakemnya. Setiap butir udara yang terhirup nafas adalah bayi bayi masadepan yang menjanjikan pembaharuan. Kuasa waktu menjadi oksigen yang memberi kehidupan bagi semangat jiwa. Telaten mengumpulkan bangkai waktu sebagai materi bangunan dinding pertahanan dari kesakitan yang mungkin lebih dahsyat yang mungkin akan datang. Kebengisan diterima sebagai kebengisan, tangisan diterima sebagai tangisan, masalalu menjauh dari masadepan.

Dan memang ternyata, tak ada api cinta yang tiba tiba padam. Yang ada adalah perlahan meredup lalu hilang…


Gempol, 080110