Friday, October 06, 2017

Hikayat Tanah Lor


 

 

 

 
Rabu Pahing yang dibalut gerimis mengawali langkah mengikuti arah khayali, dari kampungku di Boyolali menjelajahi tanah Jawa bagian utara. Rute Pantai Utara, jadi jika dari kampungku kearah timur sekitar 7 km, bertemu dengan kota kecil bernama Gemolong. Dari Gemolong ketemu jalur kereta api yang menandai jalur jalan utama Solo – Purwodadi. Pada perempatan Gemolong membelok ke kiri menuju kota Purwodadi yang masuk di Kabupaten Grobogan. Seratusan meter dari perempatan itu, terdapat stasiun kereta api kecil, peninggalan masa Belanda dulu. Stasiun Salem namanya. Konon Gemolong dulu namanya Salem, dan lebih konon lagi sebelum Salem namanya adalah Ngeseng. Mungkin dahulu kota persimpangan ini pernah berdiri pabrik seng, hal itu sama sekali tidak diketahui oleh pengetahuanku yang dangkal. Jalur kereta api itu yang menghubungkan pesisir utara Jawa menuju ke tengah (Solo) dan lalu bisa melebar ke seluruh pulau, menghubungkan dengan kota kota besar dengan stasiun stasiun besarnya seperti Jogyakarta dan Semarang.
Belanda membangun jalur kereta api untuk mengangkuti kayu kayu Jati dari peisir utara Jawa, Tanah Lor simbah menyebutkannya. Terkadang juga disebut Ngare. Kalau direnung renung, Tanah Lor artinya adalah tanah pesisir utara Jawa, sedangkan Ngare kemungkinan seseorang pernah menyebut daerah hutan yang luas itu dengan Ngarai. Selain kayu jati, produk produk laut juga mengalir ke jantung Jawa melalui jalur yang sama. Kudus, Jepara, Pati, Blora, Rembang, dan sekitarnya adalah gudang produk maritim yang sangat besar. Simbah adalah pedagang di masa produktifnya. Namanya Wakiyem, orang memanggilnya Mbah Jo (karena pernah bersuami bernama Harjo – yang dulu aku selalu memanggilnya dengan panggilan Mbah Moe). Masa kecilku dulu sering mainan di besek raksasa tempat simbah membawa tembakau dagangannya ke Tanah Lor, tembakau yang didapat dari daerah Temanggung. Simbah sering menyebut stasiun Kutoarjo masa itu. Terkadang simbah membawa ke selatan ikan asin berkarung karung untuk dijual di Solo. Jari manis sebelah kiri punya simbah memang tampak beda, dan beliau berkisah bahwa kecacatan itu diakibatkan oleh duri ikan asin dalam karung dagangannya yang ia tepuk di atas kereta api suatu ketika, dan menyebabkan luka infeksi, menjadikannya cacat permanen. Jejak jejak simbah sebagai bekas peniaga ulung hanya aku temui ujungnya, dari beberapa benda saja seperti sekaleng uang koin yang kata simbah sudah tidak laku lagi, menjadi barang mainan bagi aku sesaudara. Besek raksasa bekas wadah tembakau yang terbuat dari anyaman bambu itu, tempat favorit bermain bersama kami. Kami sering masuk ke besek itu, kemudian menutup diri kami dengan penutupnya yang juga dari anyaman bambu. Kami betah berlama lama berdua dialam besek itu, sambil sesekali mengintip keluar melalui lubang lubang anyaman. Benda selanjutnya adalah Grobok (mungkin benda ini asalnya dari kata drop box). Peti raksasa yang berfungsi sebagai meja itu berada ditengah ruangan, karena memang difungsikan sebagai meja. Terbuat dari kayu jati tebal, dan didalamnya simbah menyimpan untingan untingan padi dan terkadang beras dalam wadah dari anyaman bambu lagi, anamanya bojok.
Wadah dari anyaman bambuseperti itu tiap tiap ukuran dan bentuk memiliki nama sendiri sendiri. Yang terkecil itu namanya centhak, tompo, kemudian lebih besar lagi tumbu, bojok, tomblok, lalu senik. Itu urutan berdasarkan kapasitas daya angkutnya. Biasanya cara membawanya di gendong dengan menggunakan utas kain jarik atau selendang. Sedangkan benda serupa yang dikhususkan untuk dipikul bernama thopling. Seperti halnya barang diatas, thopling juga dibuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat setinggi kira kira 50cm Di keempat sudutnya ditautkan tali keatas, tempat nantinya melilit di pikulan. Container gendongan itu dibuat dengan anyaman bambu yang halus, sedangkan thopling dibuat lebih kasar dan kekar. Peralatan peralatan itu sekarang sudah mulai punah, berubah menjadi plastic dan yang bermesin. Aku masih mengalami paling senang kalau dipikul oleh pakde Bejo, aku sebelah dan anak lain di thopling sebelah, terkadang juga menggunakan benda hasil bumi sebagai penyeimbang sebelah. Itu sensasional bagi masa kecil.
Melewati Gemolong, jalanan lengang diguyur gerimis Januari. Tetapi sungguh hari hari pertama tahun barupun tak juga membedakan aktifitas di pasar pasar tradisional yang terlewati. Jika melintas ke arah utara, maka nanti akan ketemu dengan papan tulisan besar besar berbunyi “Lokasi Pariwisata makam Pangeran Samudro”. Itulah yang orang orang sebut sebagai Gunung Kemukus. Konon itu dalah sebuah bukit dimana terdapat makam yang dikeramatkan. Orang percaya bahwa memohon dan bertirakat di makam itu dapat mendatangkan kekayaan, dengan syarat bahwa si pemohon harus berhubungan badan dengan lawan jenis sesama pemohon di tempat itu. Sejak beberapa tahun silam mitos itu sudah berubah, Gunung Kemukus sudah menjadi lokasi pelacuran dan salah satu sumber pendapatan kabupaten Sragen. Konon pangeran Samudro adalah seorang pangeran yang jatuh cinta kepada ibunya sendiri. Kisah itu sangat mirip dengan kisah Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Jika dinalar secara logika, maka memang perkawinan sedarah tidak boleh karena sangat riskan terhadap keturunannya kelak. Aku sendiri belum pernah datang ke tempat itu, tempat yang langsung berkonotasi mesum.
Sampai dengan Gunung Kemukus terlewati, sepanjang perjalanan kita beriringan dengan rel kereta api di kiri jalan, kemudian kita akan bertemu kota kecil bernama Sumberlawang. Kota kecil dengan stasiun kereta api kecil yang masih terawat baik sehingga sekarang. Aku tidak punya cerita banyak soal Sumberlawang ini, kecuali dulu waktu SMP sempat bersepeda bersama teman teman ke kota kecil ini. Melewati Sumberlawang, maka kemudian perjalanan lebih banyak melintasi hutan dan oro oro. Seingatku dulu ini adalah hutan jati yang rimbun dan terkesan wingit, jalannya  berbelok belok di beberapa tempat. Sekarang pepohonan didominasi oleh pohon pohon mahoni raksasa, dan beberapa rumah sudah dibangun diantara sela selanya. Jalanan yang sebentar aspal sebentar beton menandakan bahwa tekstur tanah ditempat ini labil, mudah bergerak dan menyebabkan kerusakan konstruksi jalan.
Kita skip perjalanan melewati hutan dan pedesaan, untuk kemudian memasuki kabupaten Grobongan. Sawah dan beberapa bangunan tua menyambut beku, meskipun hari sudah beranjak makin siang. Waktunya sarapan telah terlewatkan, dan gerimis masih saja turun perlahan lahan. Kuda penarik delman mengangkut penumpang yang baru pulang dari pasar, diantaranya membawa seekor kambing betina yang dipegangi erat oleh pemiliknya, tepat di kekang lehernya. Aku membayangkan percakapan antara kuda penarik delman dan kambing penumpangnya; mereka tentu saling mencurahkan isi hati tentang betapa nesatpanya hidup menjadi binatang. Yang satu diperbudak oleh tuannya untuk mencari nafkah dengan tenaganya, dan sang penumpang hanya menunggu waktu sampai sang jagal menutup biografinysa sebagai kambing untuk terhidang di meja makan. Sang kuda lebih nestapa lagi, setelah tenaganya habis diperas sepanjang usia, iapun akan menghadapi golok tajam penjagal di warung sate kuda. Sayang sekali, mereka tak terdengar menghiba hiba oleh telinga manusia.
 
Memasuki kota Purwodadi, jalanan masih saja sepi. Barangkali memang kota ini setiap hari sepi. Atau hanya kebetulan karena angka di almanak berwarna merah, kemudian seolah olah kehidupan berhenti sejenak. Menara tandon air di persimpangan jalan lima arah tengah kota menandakan kita berada di pusat kota Purwodadi. Menara air yang menjadi penanda, pertemuan dari lima arah jalan yang berbeda beda; Solo, Semarang, Blora, Pati dan Rembang. 
 Jam delapan malam. Pikiran kosong di ruang tamu. Buku  gendut berjudul “Pram Melawan” tinggal sekira seperempat lagi selesai kubaca, tapi saat ini aku sedang tidak mood membaca. Aku pengen mendengar sesuatu, tapi mendengar apa yang menarik saat ini? Seharian tadi berulang ulang memutar lagu in the arms of angel dari Sarah McCallahan itu. Diluar rumah gerimis turun, suara butiran air lembut menyentuh atap beranda berbahan plastik. Gerimis mengurung badan kita dalam ruang yang begitu aman dan kering. Teralinya berupa perasaan syahdu merindu rindu. Semua kenangan membanjir, semua ingatan mengalir menembusi rintik air. Sungguh hujan adalah sesuatu yang ajaib.
Sejak kecil sampai setua ini aku masih menyukai hujan. Waktu kecil aku senang sekali main hujan hujanan. Bue seringnya mengijinkan, dengan catata bahwa sesudah hujan hujanan harus mengerjakan sesuatu atau jika sudah tidak ada pekerjaan yang menjadi tugas lagi. Telanjang bulat hujan hujanan, berlarian dan memburu genangan genangan kecil. Seperti biasa, berdua dengan Sony. Aku masih ingat kekecewaan jika sedang asyik asyiknya bermain, hujan berhenti. Biasanya kami teruskan bermain hujan hujanan tanpa hujan di parit perti kecil atau ke sawah yang lebih basah…..
Purwodadi. Memasuki kota kecil itu sama saja memasuki labirin persimpangan lima jalan yang membingungkan. Aku mencari arah menuju Blora. Purwodadi menyeret ingatan kepada masa kecil, cerita simbah tentang Tanah Lor, tentang Wong Ngare. Dulu di kampungku ada beberapa warga baru pindahan dari Tanah Lor. Orang orangnya cenderung lebih religious, dan logat bahasa jawanya aneh di telinga kecilku. Bahkan semasa SMA, aku punya teman Ngare yang tinggal dikampungku, teman sekelsku. Dia menumpang dirumah saudaranya, karena jarak sekolahan yang relative lebih dekat dibanding di kampungnya Tanah Lor sana. Namanya Kuswandi. Meskipun polos dan lugu, tetapi dia baik hati, dan selalu punya uang jajan kalau sekolah. Sedangkan aku hampir selalu tanpa uang jajan. Di sekolahan terkadang aku ‘memeras’ teman teman dengan mengerjakan PR mereka atau ‘menyendera’ surat buat mereka. Kuswandi ikut pakdenya, namanya Dakelan (aku yakin sebenarnya adalah Dahlan). Dia orang yang lumayan misterius. Orang orang Ngare yang tinggal di Andong antaranya ada Siran, Ngadenan (Adnan?), Ropingi (Rofii?) dll.
Dan aku menyelam kepada kenangan itu sambil mengirup udara Purwodadi yang basah oleh gerimis tak berhenti. Sepanjang jalan slide demi slide khayal bertamu ke ruang ingatan. Inilah Tanah Lor yang pernah dijelajahi oleh simbah di masa silam. Tanah Lor yang yang pernah hidup di pikiran masa kecilku sebagai sebuah lanskap subur lohjinawi dengan penduduknya yang masih agak terbelakang dari segi peradaban modern. Tapi ini baru batas selatan dari Tanah Lor, tanah pesisir Jawa bagian utara.
Diantara hutan hutan jati dan jalan aspal sunyi itulah aku bersama Ampung pernah menjelajah desa desa hingga ke Demak, bersepeda motor memburu benda antik dan kuno simpanan warga. Bahkan sempat juga mendapatkan senjata api pistol Smith and Wesson di sekitar Pati, senjata api simpanan warga bekas polisi hutan dulu. Desa desa itu juga menyimpan bermacam pusaka dan senjata di rumah mereka, yang tidak akan bermafaat jika tinggal menjadi simpenan dan dikeramatkan. aku ingat, ada stasiun besar dan tua bernama Gundih diantara lebatnya hutan jati itu. Di depan stasiun itu ada sate yang lezat sekali, jawa sekali, tidak seperti sate sate yang dijual di kota kota. Tidak jauh dari stasiun itu ada pemandangan yang mencengangkan; selusinan rumah rumah gedong peninggalan zaman Belanda berdiri megah dengan arsitektur Eropa yang menawan. Bisa dikatakan lokasinya sebenarnya ditengah hutan. Kondisinya sangat terawat dan menjadi milik dari Perhutani.
Dari cerita cerita orang orangg, aku tahu bahwa daerah Gundih, Godong, Juwana sampai Blora adalah daerah penghasil kayu jati Jawa kualitas nomor satu di dunia pada masanya. Tidak heran jika Belanda mendatangkan pegawai pegawai yang cakap membabat pohon pohon raksasa itu, untuk kemudian dimuat ke atas gerbong gerbong kereta meuju entah kemana. Aku masih ingat waktu kecil masih sering berpapasan dengan truk raksasa dengan bentuk aneh, hitam, kotor dan kekar dengan muatan log kayu jati berukuran raksasa. Kami menyebutkan truk itu adalah truk Gorga (bisa jadi berasal dari kata Gurkha, pasukan bayaran dari dataran Nepal atau India), asapanya hitap pekat, suaranya selalu meraung parau, dan belum tentu seminggu sekali melewati jalan raya di kampungku. Truk Gorga adalah kendaraan yang menakutkan. Suranya bisa kedengaran dari berkilo kilo meter sebelum truk itu melintas. Bahkan dimasa kecil aku masih ingat, masih bisa terdengar suara kereta apai yang melintas di Gemolong, yang jaraknya sekitar 7km an. Masuk akal karena zaman itu memang praktis tidak ada polusi suara kecuali ada orang hajatan. Listrik belum ada, dan tivi masih satu dua dirumah orang orang kaya dengan sumber tenaga menggunakan accu. Sepi pedesaan seperti itu sekarang sudah sulit untuk ditemukan, kesunyian telah didistorsi oleh gaduhnya teknologi. Hanya pada waktu terang bulan saja sekali sekali aku ikut simbah dan bue, menggelar tikar dihalaman rumah yang berlantai tatanan batu dan ditumbuhi rumput teki di sela selanya. Terkadang dengan beberapa tetangga, dan seringnya ada mbah Mustaram mampir untuk ikut ngobrol sampai jauh larut malam. Jika hari sedang baik, teh tubruk pahit, gula jawa dan ikan asin bisa menjadi peneman yang istimewa bagi orang orang tua menggiring malam. Suara obrolannya hanya terdengar seperti menggumam dari dalam rumah.
Mbah Mustaram adalah orang yang istimewa dimata ingatanku. Istrinya namanya mbah Ranti, anak anak kecil takut sama mbah Ranti karena kalau ada anak kecil ditangkap maka dia akan diuyel uyel dengan payudaranya yang sudah molor dan berukuran sebesar kepala anak anak. Ukuran sebesar itu hanya satu sisi saja! Mbah Ranti itu nggilani! Mbah Mustaram, seperti halnya laki laki malam. Dia berjalan kaki bertemu orang dan ngobrol, jalan lagi dan seterusnya. Padahal mbah Mustaram mukanya mengerikan. Wajahnya terkelupas hampir separoh, bagian hidung hingga bibir atasnya sudah hilang, sehingga susunan tulang tulang mukannya kelihatan. Konon mbah Mustaram ganteng waktu mudanya. Karena ganteng itu, maka dia disukai oleh istri lurah. Zaman feodal dulu tidak ada yang berani macam macam dengan mbah Lurah. Suatu malam ketika mbah Mustaram muda menjaga jagung di ladang, dia tidur di gubugnya dan merasakan seperti mukanya tersiram pasir panas. Dia tidak sempat mengetahui apa yang terjadi. Dan sejak itu mukanya mengalami pembusukan luar biasa sehingga bagian depannya menjorok kedalam dalam susunan tulang tengkorak. Mbah Mus Grumpung kami dulu memanggilnya karena kondisi fisiknya.
Konon mbah Mustaram ini juga berasal dari Tanah Lor, jauh sebelum aku dilahirkan. Beranak pinak di kampungku, dan anak pertamanya adalah mbah Wagiyem, bersuamikan mbah Atmo. Mbah Atmo orangnya kekar, tinggi besar (tadinya) kepalanya selalu gundul dan jalannya ekar. Dia seperti kebanyakan lelaki di desa waktu itu, juga jarang menenakan pakaian penutup badan. Telanjang dada senantiasa! Kaki kirinya seolah berjalan menyamping ketika ia melangkah kedepan. Konon kecacatan itu ia dapatkan di pasar Kemusu. Dia terkena serpihan peluru mortir ketika Belanda menggempur pasar Kemusu pada waktu mbah Atmo muda. Pekerjaannya  adalah kuli pikul,memikul barang barang dagangan serupa toko kelontong ke pasar pasar sekitar kampung. Zaman dulu tenaga manusia dihargai sebagai alat transportasi. Dia kulinya mbah Suwondo, pedagan kelontong pasar dari kampungku juga. Jika ke pasar Kemusu yang jauh itu, mbah Wondo naik sepeda dengan ban mati, dan mbah Atmo memikul barang dagangannya kepasar dan kembali kerumah. Lokasi dan jarak pasarnya tergantung hari pasaran. Legi itu ke Karanggede sekitar 12 kilometer, Pahing itu ke Kacangan , sekitar tiga kilometer, Pon itu ke Klego sekitar 5 kilometer, Wage itu ke Kemusu seitar 18 kilometer dan Kliwon itu ke Ngegot yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer saja. Mbah Atmo jalannya ekar, serpihan logam masih tertanam di paha kirinya yang cecel bonyel. Aku suka sekali nanggap cerita dari orang orang tua, kisah kisah zaman wali,  zaman Belanda, zaman Jepang, zaman perang kemerdekaan, zaman PKI, dan zaman zaman sebelum masa itu semua yang mereka cerita. Bahkan dari salah satu orang tua aku mendapat cerita, legenda tentang asal usul nama desaku, Andong. Mbah Atmo menantu mbah Mustaram, mahir menyanyikan lagu lagu patriotik Jepang, berhitung Jepang dan menirukan gerakan gerakan militer Jepang yang ia dapat ketika dia dilatih menjadi anggota Heiho yang kemudian menjadi PETA. Mbah Atmo lancar bercerita tentang Remusa (Romusha), tentang Kimigayo, dan baris berbaris a la Jepang.
Sayang sekali mbah Atmo merana di hari tuanya. Bersama istrinya dia terpukul oleh peristiwa tragis, anak keduanya bernama Juyati, melahirkan orok tanpa pernikahan, yang lantas dibunuhnya si orok dan membuangnya di barongan oren (rumpun bambu ori, jenis bambu yang berduri tajam)  belakang rumahnya. Itu terjadi sekitar tahun 1983, dan begitu menggemparkan sampai kampungku penuh manusia; sekedar ingin tahu kejadiannya. Juyati kemudian dibawa oleh polisi, dan kabarnya dipenjara di Boyolali (kota kabupaten). Sejak itu tak terdengar sangat lama kisah Juyati yang berparas cantik dan berkulit bersih itu. Sejak peristiwa itu mbah Atmo dan istrinya seperti menarik diri dari pergaulan. Tidak lama kemudian mbah Wagiyem meninggal, mati ngenes menanggungkan wiring (malu), dan mbah Atmo sudah sangat jarang keluar rumah, apalagi berkisah tentang masa masa perang. Kalau aku kerumahnya, dia melayani seperti biasa, tetapi lebih pendiam dan tidak beranjak dari tempatnya. Berbulan bulan akhirnya dia tidak beranjak dari tempatnya duduk, diujung dipan dengan setengah badaya menghadap jendela, memandang orang di jalanan yang hanya berjarak 5 meteran dari jendela rumahnya. Oya, dia selalu mengaji tidak lama sesudah kejadian itu. Dia mengaji seolah tidak pernah berhenti. Beberapa bulan itu terus terjadi, sampai kemudian suara mengajinya mendengung dengung, bergumam gumam saja. Selang sekitar satu setengah tahun dari istrinya, kemudan mbah Atmo meninggal. Atmo Ngatemin, berbadan kekar, berkepala plontos dan kalau jalan ekar. Adik adik Juyati sepertinya tidak terlalu terpukul. Parno, Jarwono, Parjo, Kirman, Tukimin. Kirman dan Tukimin adalah teman bermainku. Mbah Atmo Gundala Putera Petir kami anak anak remaja yang nakal dulu memanggilnya diam diam.
Aku punya kisah dengan Kirman dan Tukimin. Dulu sewaktu lepas lulus dari SD, aku tidak langsung meneruskan sekolah ke SMP.  Aku sempat berjualan es keliling, gerobak kecil dengan pengeras suara kecil memainkan musik dangdut, atau apa saja yang penting bunyi dari pita kaset. Eskimo namanya, semacam es mambo kalau zaman sekarang. Juragannya  orang dari Kacangan, pak Ilyas namanya. Rumah pak Ilyas sekitar jarak 6 rumah dari rumah Ampung teman lamaku yang sekarang. Kami punya cara sendiri untuk berbuat curang ketika berjualan es itu. Kang Kirman yang mengajari; kalau haus dan kepingin mencicipi seperti apa es yang dijajakan, maka cukup kenyot saja es di dalam termos itu, jangan sampai habis, lalu kembalikan lagi. Selama bungkus dan tusuknya masih ada, maka Pak Ilyas tidak akan menghitungnya sebagai dagangan nyang sudah laku. Suhu udara dan kulaitas termos siap menjadi kambing hitam yang tak punya perlawanan. Trik itu sukses berjalan lancar. Meskipun berjualan, bukan serta merta kami tahu seperti apa rasanya eskimo itu. Bahkan kalau berjualan sampai ke Andong dan mampir kerumah, biasanya mbah Kun mentraktir eskimo untuk anak anak yang berkerumun. Aku sang penjual termasuk salah satu anak yang menjadi obyek kebaikan mbah Kun. Berdagang es keliling itu terhenti karena suatu hari adiknya bapak, Om Prapto pulang dari Jakarta dan waktu ke Andong melihatku mendorong gerobak es itu, dia marah besar. Katanya hal itu mempermalukan keluarga besar bapak. Sedangkan, masa kecilku sendiri hampir tidak pernah ada figur bapak. Padahal kami sangat miskin waktu itu, dan bue tidak berdaya untuk menyekolahkan anak kembarnya ke SMP.
Ketika tahun ajaran baru sudah berjalan sekitar tiga bulan, aku baru masuk SMP. Namanya SMP Pemda, yang kelak menjadi SMP Bhineka Karya. Kepala sekolahnya sudah uzur, betul betul berjiwa pendidik. Namanya pak Wignyo Suharsono. Orang tua yang bijaksana meskipun terkadang galak luar biasa. Kakakku yang pertama sudah di sekolah yang sama, tetapi di SMEA. Lokasinya sama. Untuk keluarga kami, pak Wignyo memaklumi jika bayaran SPP menunggak beberapa bulan karena tidak ada kiriman uang dari bapak. Terkadang kami malu jika pengumuman tentang tenggat akhir bayaran bulanan atau bayaran lainnya tiba. Kakakku akan menghadap pak Wignyo untuk meminta penangguhan pembayaran bagi keluarga kami. Biasanya beliau mengabulkan. Aku sekolah sampai selesai di SMP Pemda itu, dan kemudian melanjutkan ke SMEA Pemda di lokasi yang sama.
Pada waktu SMP kelas 2, aku pernah diminta oleh Om Waluyo, pegawai Pos di Jakarta famili jauh, untuk tinggal bersama ibunya yang waktu itu umurnya sekitar 70 tahun. Mbah Harjo namanya, tinggal di kampung bernama Kliwonan. Rumahnya kecil, ditengah pekarangan yang luas dengan banyak pohon jambu, belimbing, dan tentu saja singkong dan papaya. Berdua saja kami tinggal disitu, aku dijanjikan akan diurus soal uang kebutuhan sekolah. Aku senang, karena jarak ke sekolah menjadi dekat. Sedangkan kalau dari Andong, sekitar lima kilo ke sekolahan, seringnya jalan kaki. Jika kebetulan bertemu teman yang bersepeda, terkadang aku dibonceng. Pernah suatu ketika adikku dibonceng teman sekolahnya, dan kakinya masuk ke jari jari sepeda. Sepatu baru warna coklat kiriman dari Jakarta menjadi robek dibagian belakangnya.
Di Kliwonan aku sepenuhnya  mengurus mbah Harjo. Ini kegiatan rutinnya: Pagi hari, bangun tidur sekitar jam 5, ke pasar Kacangan membawa sekarung daun singkong yang sudah diikat ikat sedemikian rupa. Terkadang bukan hanya sekarung, dan terkadang juga bukan hanya daun singkong yang dijual melainkan juga nangka, pisang dan lainnya. Mbah Harjo akan kepasar untuk menjualnya nanti. Kembali dari pasar, aku ke kebun untuk ramban (memetik daun pucuk pucuk daun singkong) untuk dijual esok harinya. Kegiatan ramban itu berlangsung hingga menjelang siang, karena sekolah masuk siang. Daun daun singkong yang sudah dipetik dikumpulkan dalam wadah besar didalam rumah. Siang sampai sore aku sekolah. Pulang sekolah masing mengikat daun daun singkong itu dengan ukuran yang kira kira sama. Oya, aku juga kebagian untuk masak nasi, itu sering terjadi. Dan mbah Harjo itu pelitnya luar biasa. Pernah suatu kali dia mendapat kiriman ikan bandeng dari salah satu kerabatnya, disimpan entah dimana tau taunya dicuri kucing. Hm, kalau malam aku sering keluar lompat jendela untuk bermain dengan mas Sugi tetangga depan rumah. Orangnya ganteng. Sedangkan tetangga terdekat adalah Bude Kerti namanya, anaknya ada tiga, dua laki laki dan satu perempuan. Yang perempuan sudah berkeluarga dan tinggal dirumah itu juga bersama suaminya. Bude Kerti termasuk orang berada, termasuk diantaranya keluarga ini sudah memiliki sumur, tempat aku mengambil air untuk isi gentong dan kolah mandi mbah Harjo, tempat aku mencuci dan juga numpang mandi di kamar mandi samping sumurnya. Keluarga yang baik. Sayangnya aku lupa nama anak anak bude Kerti, karena yang satu lebih tua dari aku, dan satunya lebih muda. Mas Meri yang lebih muda itu, aku masih ingat namanya. Tipikal orang kaya. Halus dan terawatt.
 
Terkadang kalau pas sekolah libur aku pulang ke Andong. Jalan kaki tentu. Jauh dari bue dan saudara lainnya sungguh tidak mengenakkan. Berjalan sekitar 6 bulan saja aku tinggal sama mbah Harjo. Selama itu pula aku belum pernah bertemu dengan yang namanya Om Waluyo. Alasan aku pergi dari rumah itu karena mbah Harjo ke Jakarta diantar oleh menantunya, pak Bardan namanya. Keluarga pak Bardan tinggal di belakang pasar Kacangan, dan memiliki tiga orang anak Handoko, Yoyok, dan Anna. Pak Bardan lurah pasar yang sangat dibenci karena sikap kasarnya, arogan dan sewenang wenang. Perawakannya tinggi besar, brewok dan jika berbicara lantang. Sepeda motornya BSA besar itu. Bu Bardan punya usaha warung makan. Ramai juga karena letaknya dibelakang pasar. Rumahnya luas, aku sering main kesana dan bersahabat dengan Handoko. Sayangya, keluarga pak Bardan mengalami akhir yang tragis, dan itu panjang ceritanya…
 
To be continued…