Friday, April 06, 2007

Mengantar Matahari Pulang

Ruhku pulang, meniti sepanjang pematang sawah dan melewati pepohonan Gude yang hitam, wijen hijau kekuningan diantara pokok pokok jagung muda bermahkotakan kembang warna jingga. Bahkan bayi bayi belalangpun berloncatan menyingkir memberi jalan ketika kaki telanjang menapak tanah kering berbau wangi aroma rumput. Kemarau masih belia, dan tanah menjadi induk bagi segala kehidupan dipermukaanya, bersolek mempersiapkan persembahan kepada musim yang menimangnya sepanjang masa. Dan biji biji kentang yang tertinggal merana sendirian di musim lalu, memberontak dari keberadaanya dengan tunas hijau kekuningan, menyembul dari sisi sisi pematang; sebentar lagi ambrol digerus anak gembala mencari teduhan, diantara rimbun daun ubi kayu sang penguasa pematang kini.

Matahari di barat laut sayu, dilangkahi satu dua burung kontul yang terbang bermalas malasan mencari sisa sisa kubangan dimana bayi bayi wader, lele, gobi, uceng dan udang sempat menikmati hidup mereka yang pendek. Bahkan perkutut dan kutilangpun berpasang pasangan menghinggapi ranting turi bergantian. Suara burung srikatan bercerecet renyah menikam sunyi sore menjelang senja diantara pekatnya rumpun bambu ori, pagar hidup kampung. Setiap kampung di Jawa konon berasal dari satu kelompok yang dipimpin satu individu, kebanyakan ceceran dari prajurit prajurit kerajaan yang mungkin tersesat entah memberontak, mengadakan kehidupanya sendiri dengan membentuk kelompok kecil, membangun sebuah komunitas dalam sebuah kampung dan mengkonsep system perlindungan dengan menanam bambu ori (oren) keliling kampung, dan memasang gardu perondaan disetiap jalan masuknya.

Deru angin seperti mengikuti, mengelilingi dan tak henti menciumi membelai wajah. Di tanah ini angin tak pernah pergi, tidak seperti setiap lelaki isi kampung itu yang berlarian mengejar mimpi setelah akil baliq. Angin seperti mengalir langsung dari langit, tanpa muatan debu maupun karbon dioksida, hanya butiran embun di malam hari dan mengantar hangat sinar matahari di siangnya. Segar hawa persawahan mengantar bergegas mencapai puncak gumuk, menanjak pada sejuk rumput setiap kali kaki ditapakkan. Dan segala pepohonan berdaun berayun menyambut seolah mengabarkan tentang kerinduan yang telah ditanggungkan beratus ratus tahun sendirian. Angge angge di belik kecil barair kecoklatan dipuncak gumuk berenangan kesana kemari seperti kegirangan yang tak bisa berhenti. Batu cadas dinding belik membasah dengan lumut hijau tua menggelayut, ujungnya menari dipermukaan air belik.

Membasuh muka lalu duduk takjub memandangi matahari yang sebentar lagi tenggelam dibalik rimbun kampung Tegal Rejo seberang sawah, dimana rimbun pohon Cepokal menjadi gerbang jalan masuknya. Warnanya memerah saga, besar dan terang benderang bagaikan cermin berkilauan ditengah hamparan langit melembayung syahdu. Hangat tanah pematang membawa kenangan tentang masa kecil dimana masadepan bagaikan langit tak bertuan, tempat dimana penjelajahan bisa terpuaskan sampai ke ujung kekuatan. Cerita tentang negeri negeri penuh kejayaan terlukis jelas disetiap gumpalan mendung yang melintas atau pada petak petak bayangan yang tergambar dilangit tak bergaris. Diseberang sana, diujung sana, dibalik sana, dibawah langit sana, sebuah tempat telah menanti siapa saja yang datang dengan keberanian untuk pulang membawa medali kebanggaan; ke kampung halaman, tempat masa kecil diciptakan hanya sekali dalam seumur hidup. Semilir hawa gumuk selalu menenteramkan fikiran, memberikan asupan gizi bagi nurani sebagai hikmah dari kesahajaan.

Terimakasih wahai sang matahari yang telah menjadi mata bagi hari ini. Luruhlah luruh ke balik bumi dengan catatan tentang apa yang kau hidupkan dan kau matikan di mayapada. Terimakasih karena kau telah memberi hidup dari yang mati, dan memberi terang bagi yang gelap hati. Terimakasih atas hidup, yang mengajarkan bahwa sendiri bukanlah berarti kesepian. Orang orang tercinta tinggal dan hidup, menghangatkan setiap ruangan dalam lorong hati senja ini, dengan unggun cinta yang selalu terpelihara oleh alam.

Damainya gumuk senja ini, serasa mengikat kaki untuk tidak melangkah pergi; kembali ke dunia plastik, negeri impian masa kecil dulu…dan sebelah hati rebah di bahu kiri, melafalkan percakapan hati tanpa kata kata…

(…aku ingin,
rebah di sejuk tanah berdebu kampungku,
di bawah rimbun pohon bambu…)

Gempol, 070405