Thursday, March 22, 2007

Bunga Kertas untuk Ibunda

Apalah arti bhakti seorang anak kepada ibundanya jika dibandingkan dengan seberapa mulianya seorang ibu membesarkan dan memelihara anak anaknya. Tanpa campur tangan ibu, mustahillah seorang bayi terlahir di atas bumi, memecah hening dengan tangis pertama dan lalu menjelma menjadi manusia yang lambat laun berakal budi dan berpribadi. Tidak ada jasa manusia yang melebihi kemuliaan jasa seorang ibu bagi anak anaknya menurutku.

Ketika si bayi kemudian menjadi kanak kanak dan perlahan tumbuh remaja kemudian dewasa, peran sang ibu tidak bisa lepas, sebagai pembimbing moral maupun permandu akal. Ibu selalu ada dengan kebijaksanaan kata katanya, dengan contoh contoh perilakunya dan tentu dengan kecemasan juga kekhawatiran yang disembunyikanya. Cintanya tak ada yang bisa melebihi kedalamannya, kasih sayangnya tak ada yang melebihi tingginya. Maka selayaknyalah penghargaan tertinggipun ditujukan kepadanya.

Semua orang kemudian belajar tua dari dirinya sendiri, pengalamanya sendiri sendiri. Tidak ada pelajaran menjadi tua, atau untuk menjadi tua kita juga tidak bisa belajar dari orang lain. Pundi pundi waktu yang pecah dan tak akan utuh lagi menjadi catatan bagi perjalanan hidup, kadang menyisakan bekas bekas luka, terkadang juga membentuk otot diri menjadi lebih sedap dilihat mata. Kulit yang robek, tulang yang patah, fungsi organ tubuh yang melemah atau bahkan rusak, sel sel mati yang tak mau hidup lagi, semua larut dalam perjalanan pundi waktu; menjadi tua.

Begitulah niatan alam, manusia bermetamorfosa, beranak pinak dan menciptakan manusia manusia baru. Tetapi cinta ibu tetap tak tergantikan dan tersimpan abadi jauh didalam lubuk sanubari. Seburuk apapun ibu, maka ia adalah manusia terbaik dimuka bumi. Pabrikasi keturunanpun menggeser pemahaman kita terhadap ibu, sumbangsihnya kepada kehidupan dan pekembangan akal kita, anak anaknya. Sekarang baru tersadar, bahwa ketika anak hasil produksi kita dengan orang yang samasekali asing sebelumnya sakit maupun terganggu kelancaran hidupnya, maka kita orang tualah yang pertama dihinggapi sakit kepala, berasa ingin menggantikan peran buruk yang harus dilakoni si anak. Maka demikianlah juga dulu ibu kepda kita ketika kita belumlah seberdaya sekarang, sesombong sekarang.

Manakala ibu yang kemudian masa berlaku hidupnya perlahan menyusut dan rapuh, maka sudah sepantasnyalah kewajiban kita anak anaknya untuk menggelontorkan segenap cinta kasih sayang, perhatian dan sumbangsih kepada beliau, seperti halnya dulu ketika kita masih kecil kecil, nakal, bodoh dan bau asem. Kepada anak anaknya seorang ibu tidak pernah ingin bergantung apalagi menjadi beban, maka kepada anaknya pula sang ibu terus berharap dan berdoa, agar memiliki perilaku mulia sebagai manusia dan agar berlaku selayaknya manusia terhormat. Agar anaknya tidak terbius oleh kesombongan dunia dan lantas menjadi durhaka.

Pengabdian ibu tidak pernah berhenti sampai maut datang menjemput, dan sudah selayaknya demikian pulalah bhakti sang anak kepada ibu sebagai wali utama penyebab keberadaan diatas bumi. Keterbatasan kemampuan dan terkotaknya tanggung jawab sebagai manusia dewasa tidak seharusnya menyurutkan niat dalam hati untuk mengabdikan hidup kepada orang tercinta, ibunda kita. Entah dengan perlambang apapun, bahasa cinta musti disampaikan tanpa pura pura sedikitpun jua. Betapa masih beruntungnya kita, yang tetap menyimpan ibu sebagai sang pemrakarsa kehidupan , sebagai guru dan juga sekaligus pembimbing jalan fikiran akal.
Tiba saatnya jika kita memohon, Tuhan akan mengirimkan malaikatNya, menjadi penolong yang memanjangkan tangan kita untuk memapah ibunda, berjalan menyusuri hari tuanya yang lengang dan rapuh, seperti masa kanak kanak kita dulu.
Lewat malaikatNya, terkirim kembang kertas untukmu, ibu… perlambang cinta yang tak kenal layu...


Nutricia, 070322