Tuesday, March 27, 2007

Tulisan bebas penulis bebas

(Berpikir adalah merupakan aktifitas kognitif yang hasilnya dikatakan sebagai pikiran (mind). Pikiran adalah merupakan perangkat lunak (shoftware) yang dioperasikan di dalam otak (brain). Hasil olahan dari kognitif adalah logika dan afeksi - kutipan dari blog seorang teman - red)

Mengingat segala dinamika kehidupan berawal dari pikiran yang berkembang menjadi wacana atau pemikiran kemudian tumbuh menjadi rencana serta ke pelaksanaan, maka menulispun melalui proses metamorfosa yang sama. Menulis adalah menterjemahkan pengendapan fikiran atas kejadian, peristiwa atau kesan yang tertangkup dalam ruang bernama renungan. Penulis yang baik adalah yang bisa mengekspresikan sifat individualitas si penulis. Tulisan bebas tentu tidak mengandung unsur menggurui maupun menghakimi, tapi lebih cenderung sebagai pendapat pribadi bebas terhadap apa yang dirasa dan dilalui lewat kepekaan syaraf seni.

Menulis adalah seni mengalirkan fikiran melalui rangkaian huruf huruf yang tersambung dalam kata dan mengalir dalam satu kalimat, membentuk sebuah kesan dalam paragraph yang akhir akhirnya meninggalkan jejak bagi fikiran siapapun yang membacanya. Jadi sebetulnya tulisan adalah dari fikiran untuk fikiran, dari pendapat untuk pendapat. Dari tulisan bebas kita hanya bisa paling tidak meraba kepribadian si penulis, karena tulisan adalah anak rohani dari penulis itu sendiri selama itu tulisan bukanlah merupakan tulisan pesanan maupun tulisan dengan tendensi tertentu yang bisa menghasut fikiran orang lain.

Tulisan yang baik juga bisa mempengaruhi si pembaca, mempengaruhi untuk berpendapat tentang pendapat yang dikemukakan di tulisan atau bahkan yang lebih parahnya lagi bisa menyebabkan ketersinggungan karena tersindir. Hanya tulisan yang dibuat dengan proses befikir yang dalam yang bisa menggerakkan fikiran orang lain, dan memberikan wawasan baru dari pendapat yang dikemukakan secara bebas didalam tulisan. Sebuah karya sastra mengandung keindahan dari penyusunan kalimat kalimat serta pemilihan kata kata (diksi), untuk menyampaikan suatu pesan secara simbolis ataupun terang terangan. Semestinyalah sebuah karya sastra dilihat sebagai sebuah karya sastra, sebuah hasil kerja berfikir dan berkreatif terlepas dari mencoba menganalisa sifat luar si penulisnya.

Jika tulisan bisa dengan tidak sengaja menyinggung pembaca, reaksi umum pertama yang muncul adalah penghujatan kepada si penulis karena tidak mungkin memboikot atau membredel tulisan yang menyinggung si pribadi terhormat berintelektual setinggi langit dan setara dengan kahayangan dimana para dewa dewi bercengkerama itu, maupun atas pertimbangan etika tidak pantas dilakukan. Pembaca yang merasa kehormatanya yang tinggi (atau mungkin seseorang yang menjadi layanan empatynya) tergesek bisa bereaksi aneh, bisa lucu, tapi bisa juga konyol. Jarang malahan yang bisa bereaksi dengan akal sehat yang mencerminkan kedewasaan emosional sebagai wakil dari warga beradab. Kekonyolan itu bisa berupa pembubuhan cap semena mena terhadap si penulis dengan tidak mempertimbangkan adat sopan santun maupun tata krama pergaulan di masyarakat umum. Sebuah warisan zaman jahiliyah yang dilestarikan hingga hari ini!

Kritik terhadap esensi tulisan maupun terhadap gaya penulisan mungkin akan dipandang sebagai cara yang lebih elegan ketimbang lontaran kata vulgar yang menggabrul kepada interpersonal penulisnya. Sebuah tulisan bertema cengeng bisa jadi adalah hasil dari penyulingan rasa mengharu biru yang tidak sembarang orang bisa melakukanya, dan kalaupun semua orang memiliki rasa mengharubiru, belum tentu juga bisa mengekspresikanya dalam sebuah tulisan. Beberapa karya tulis bahkan bisa membawa pembacanya menangis, dan tentu tulisan itu tidak dibuat dengan cara menangis pada masanya. Semata adalah kepiawaian si penulis menjabarkan detail dari matrix rasa dalam susunan kata kata.

Jadi ketika kekonyolan itu ditampilkan dalam bentuk tulisan yang hambar tanpa cita rasa seni, maka yang muncul semata mata adalah cap dangkal atas sebuah karya berfikir kognitif. Sungguh memprihatinkan. Sedangkan bagi si penulis, melahirkan anak rohani dalam tulisan adalah memandang dunia di telapak tangan, memberikan rasa pelepasan yang tak terbagikan dengan orang lain. Menulis adalah hal menyampaikan, mengeluarkan, soal itu menjadi madu ataupun racun bagi pembaca, terserah kepada apa isi tembolok masing masing pembacanya. Akan lebih menghibakan lagi apabila si pembaca sendiri merasa entah sungkan entah malu menampakkan diri sebagai pembaca, seperti melempar tahi sapi dari gelapnya malam. Kasihan...!


Glass box 070327