Thursday, October 06, 2005

Revolusi Cinta

Ketika seseorang memutuskan untuk menikahi lawan jenisnya, alasan universalnya adalah karena cinta. Lalu membentuk sebuah lembaga pribadi bernama rumah tangga, sebagai investasi sosial. Ketika rumah tangga mengikat cinta, maka terminologi cinta berubah pula menjadi ikatan kewajiban, ikatan tanggung jawab dan ikatan hukum yang melekat kepada negara, masyarakat dan pasangan. Ikatan ikatan itu terkadang menjadi kabur dan menjelma menjadi sebuah ikatan yang tak telindungi hukum materi; ikatan emosional. Keruwetan konstruksi rumah tangga itu bisa saja disederhanakan dengan begini; menikah adalah memilih seseorang untuk saling mengikat dalam setiap aspek sosial maupun personal, dengan landasan kerelaan terlibat secara emosional berdasarkan cinta kasih.

Dan ketika dua individu itu disatukan atas dasar keinginan maka terbangunlah mimpi dan harapan. Dunia memang selamanya tidak berubah, tetapi manusialah sesungguhnya yang berubah. Waktu terkadang memberi ajaran tentang betapa tidak ada apapun yang akan abadi dikolong langit ini. Cinta, sang modal investasi sosialpun kadang tergerus dan berubah bentuk seiring perjalanan zaman. Degradasi cinta membuat segala ikatan itu menjadi sumir, tak bermaka apa apa kecuali sederet kewajiban. Karena cinta adalah energi jiwa mencari pelepasan dan penampungan, maka bentuk cinta yang telah melorot maknanya itupun kelayapan mencari ‘rumah’nya yang ideal. Pengembaraan energi cinta ini melawan arus moralitas nurani dan memberikan kuasa bohong kepada hati untuk terus mencari dan menari wahana ekspresi; satu individu baru.

Maka investasi sosial itu menjadi bangkrut kehilangan esensinya. Hanya sebatas status suami istri belaka, itupun telah berada diujung tebing menunggu hari baik datang dimana angin mendorong masuk kejurang kehancuran. Masing masing pemegang saham dalam lembaga cinta itu sekian lamanya mengubur hak pribadi mereka, selamannya mematikan fantasi fantasi pribadi mereka dan berpura pura menjadi suami dan istri agar sang lembaga cinta tetap bernafas. Tali tali yang mengikatnyapun telah lapuk oleh penghianatan atas nurani maupun harga diri individu dan perlahan menyebabkan simpul simpul ikatan itu mengendur dan siap untuk luruh menjadi debu.

Ketika itu terjadi, maka jelaslah bahwa kehancuran sudah lengkap menjulang didepan mata, maka yang dibutuhkan tinggal revolusi cinta. Dengan rela meski berat melepaskan semua ikatan membawa semua bekal pengalaman untuk perjalanan lain lagi. Perceraian adalah revolsi cinta yang paling ekstrim, hingga yang tersisa hanya rasa bahwa kita tidak pernah merasa memiliki apapun sampai kita kehilangan sesuatu. Runtuhnya sebuah lembaga cinta adalah kehilangan investasi sosial karena cinta yang bangkrut. Ikatan emosi telah meredupkan nyala terang sang rasionalitas yang seharusnya menjadi panel sentral sebuah revolusi. Pada giliranya rasionalitas akan menjadi tembok kokoh pelindung diri dari kesedihan yang berkepanjangan, dari derita yang berkelanjutan. Ketika rasionalitas menjadi raja atas intuisi, maka cinta hanya sekedar dua hati yang berdiri tertanam dikutub berlawanan, kehilangan energi magnetik yang mengikat dalam eksistensi lembaga cinta dalam percturan peradaban.

Dimana mana revolusi membutuhkan darah sebagai tumbalnya, meninggalkan perih sebagai catatanya, maka bijaklah mereka yang memilih pasangan hidup dari golongan orang dimana merka tidak bisa hidup tanpanya.

Kost Simatupang, 5 Oktober 2005