Thursday, March 16, 2006

Satu cerita tentang malam

Bahkan senyap sang malampun menjadi kabur oleh pikiran yang menimbun, makin lama makin kokoh mengunci bathin. Bumi menjadi hamparan maha luas dengan gunung dan laut yang memisahkan jarak antara jiwa jiwa yang diam diam menyimpan catatan tentang diri. Begitu jauh dari manapun. Kesendirian yang semestinya menenangkan menjadi kegelisahan ketika ternyata yang ditemukan hanya semu disekeliling.

Keindahan biasanya memiliki ruang sepanjang hidup masih terus dijalani. Bahkan dibalik tragedi yang memilukan atau prahara yang mengerikan sekalipun. Tetapi ketika iblis menempati posnya masing masing disetiap aspek ingatan, rayuan tentang estetika kesemestaan menjelma menjadi pemikiran skeptis belaka. Pemikiran yang hanya berputar putar pada pertanyaan tentang bagaimanakah cara menjalani hidup yang semestinya. Berputar tanpa jawaban kecuali ingatan yang datang silih berganti saling menindih bersama menumpuknya waktu ketika malam bergulir menuju muara bernama pagi.

Malam berisi diam, ketenangan yang mengendapkan banyak pertanyaan. Bahkan rapalan mantra pengusir gelisah rajin terlontar tanpa terucapkan sekedar menunda kemenangan sang amarah. Fikiran yang terkurung dalam ruang terkunci terus memberontak mencari celah, memanggil manggil datangnya seseorang yang dulu setia menemani, menjadi saksi atas setiap gerak yang terbuat dan kata yang terucap, yang lalu menuliskanya dengan indah untuk dipajang di dinding rumah teduhan hati.

Waktunya umat manusia tertidur melepaskan segala kesadaran dan tergolek menjadi zombie. Waktunya istirahat dari kenyataan yang terkadang membebani diri, dan berharap mendapat penghiburan dari mimpi yang dihasilkan dari kontemplasi bawah sadar. Maka bagi penduka waktunya juga menyongsong mimpi buruk yang akan jadi ilustrasi peristirahatan, memperpanjang garis antara tepi ke tepi sang malam dengan catatan hitam.

Sungguh tak penting apa yang telah terjadi hari ini, siang tadi. Sungguh tak penting juga apa yang mungkin akan terjadi esok pagi, keduanya sama sama nisbi. Kekinian adalah malam ini dimana angan angan timbul tenggelam antara kekhawatiran akan esok dan ketidak puasan atas cara memanifestasikan diri hari ini. Sungguh sebuah krisis mental yang rumit untuk diuraikan dengan penjabaran melalui tulisan. Tapi biarlah tulisan menjadi jejak sang fikiran yang tidak akan terhapus oleh waktu bahkan oleh hukum materi. Dan esok hari akan datang lagi bersama matahari, menerbitkan harapan dan benih benih cita cita yang terpupuk oleh gemerlap sisa embun dipucuk rerumputan sepanjang jalan kewajiban, mengaktualisasikan diri dan menjadi bagian dari kehidupan makro bumi manusia.


Gempol, lewat tengah malam di kontrakan, 060316