Wednesday, March 22, 2006

Mendung, gerimis dan sebuah ‘good bye’ pagi hari.

Embun yang terdampar ditanah pekaranganpun menjadi bias oleh gerimis yang datang kepagian. Mendung mengurung matahari, pagi berwarna kelabu adanya. Jam ini waktunya matahari meninggi, waktunya kehangatan menyelimuti dan kemudian membakar semangat diri melintasi satu ruang hidup, buat mengisi lembaran diary. Hari ini akan tetap berjalan, tak ada apapun yang sanggup menghalangi.

Jarak pandangan membentur dinding kabut yang menyelimuti sementara riuh jalanan menawarkan langkah untuk terus berlari. “Pagi ini, tak ada matahari” ucap asap knalpot kepada gedung gedung yang muram membeku sepanjang jalan basah.

Gerimis yang menaburi bumi mangaburkan kehangatan atas jarak yang membentangkan letak orang kesayangan setelah dialog semalam membeku tanpa keputusan. Fikiran mencari cari, sengatan matahari yang membangunkan kesadaran atas diri. Sia sia.

Lalu sebuah bisikan atas nama peradaban datang menghampiri, sekedar mengucapkan selamat tinggal untuk pergi. Sensitifitas telah melewati titik kulminasi, puncak dari segala yang ditahankan selama ini. Menyerah kalah pada ketidak mungkinan yang rajin menganiaya. Melambaikan tangan tak rela sementara air mata telah kehabisan energinya hanya untuk mengaliri kulit kasar sang pipi. Telah kering bahkan untuk menterjemahkan kesedihan atas ranting hati yang terkoyak patah.

Pagi ini dibumiku, mendung menghias gerimis dan sebuah ucapan selamat tinggal menikam jantung, menyempurnakan langkah matahari yang bersembunyi.

(Half time goes by
suddenly you’re wise
another blink of an eye, 67 is gone
the sun is getting high,
we're moving on...
I'm 99 for a moment dying for just another moment
and I'm just dreaming counting the ways to where you are

....there's never a wish better than this, when you only got 100 yrs to live...")


Cubicle, 060322