Tuesday, July 08, 2008

Catatan Mesin Ketik

(cerita dari Jakarta VIII)

Klak.. tik.. tlak ..tik.. tak ..tik….

Suara ketukan nyaring memecah sunyi malam di gang sempit yang kadang gelap kalau rumah petak paling kanan yang juga keluarga anak landlord rumah kontrakan itu lupa menyalakan bohlam penerang emperan. Pada sisi masing masing pintunya dibangun tembok tipis setinggi enam puluh senti sebagai pembatas antar rumah tangga; antar para pengontraknya, keluarga keluarga perantau yang juga harta kekayaan Jakarta. Masing masing pintu menyimpan rahasianya sendiri sendiri, menyimpan juga masa lalu dan impiannya sendiri sendiri.

Pada pintu ujung sebelah kiri berdiam keluarga suku batak, dengan dua orang anak dan sepeda motor agak tua tapi tidak juga terlalu tua. Kesan sederhana mewakili seluruh penampilannya. Dibalik pintu itulah keluarga Madelin berdiam, dan dari balik pintu itulah nyaring suara mesin ketik berdenting tengah malam begini. Papanya Madelin pasti sedang menuangkan isi fikirannya ke selembar kertas, mencetaknya dalam tulisan yang bisa mengulang isi perasaan persis seperti ketika isi otak dituangkan, kapanpun mau. Begitulah barangkali penulis. Mamanya Madelin, Imelda adalah seorang pegawai negeri, guru bahasa inggris di sebuah sekolah menengah umum negeri.

Mesin ketik dari besi, tak lekang digerus zaman, dilindas teknologi nir kabel dan kedap suara. Dari ketukannya mengalir butir butir pemikiran, menterjemahkan kegelisahan hati seorang lelaki perantauan. Bercerita panjang tentang sejarah yang tercipta ketika jarum arloji melewati angka dua belas. Suaranya nyaring menerbangkan angan angan, menjauh dari langit kemudahan dan mengajari nurani untuk menginjak bumi kenyataan. Bahwa hidup telah terbagi atas para pelakonnya dimuka bumi, atas perbedaan dan ketidak samaan semuanya berdiri diatas kesamaan. Simpati mengalir bersama bisu malam yang menggenang, mengenangkan ketika lampu minyak menjadi teman memeras fikiran, di halaman rumah diatas sejuk rumput teki, dan bulan seujung kuku yang malu malu digauli awan abu abu.

Huruf demi huruf berbaris melalui ketukan, lambat laun menyuarakan lolongan hati yang menangis sambil bernyanyi. Iramanya membeberkan makna dari setiap simpul hati gundah gulana, tentang besok lusa untuk kedua anak tercinta. Rumah petak berdaun pintu triplek, berhimpitan bergelimang keinginan. Menunggu angin malam ini datang dari utara, membawa kabar tentang ibunda tercinta. Berharap embun setetes datangkan damai, seperti dulu sewaktu malam hari tak dibatasi pagi.

Mesin ketik tua dari Pasar Rumput, menemani lelaki menjelajahi malam, dengan pikiran dan bercak bercak kegalauan. Mencatat sejarah tak tercatat, dari hidup nyata di kota Jakarta. Didalamnya, terpendam miliaran kisah hati penghuninya, tak terlahir dalam kata kata. Hanya tulisan penjabar kenangan yang timbul tenggelam dipermainkan nasib dan harapan…


Gempol, 080708