Sunday, May 28, 2006

Duka di bumi Jogya

Sabtu baru lepas dari subuh ketika bumi terasa runtuh. Gempa tektonik mengguncang Jogyakarta dan getaran terasa hingga jarak puluhan kilometer dari episentrumnya di dasar laut Jawa, empatpuluh kilometer dari daratan pada kedalaman sekian ribu meter. 56 detik dengan guncangan 5.9 SR melumatkan apa yang dibangun, dijaga, dipelihara dan dianggap sebagai hak kepemilikan selama berpuluh tahun. Harta benda, harga diri, nyawa seakan remuk jadi debu. Hari itu mestinya akhir pekan yang menyenangkan penuh rencana cerita cerita keceriaan. Dan langit mendung penuh duka, bumi koyak oleh luka.

Kaki dunia seperti gemetar pada pijakan kepongahan manusia, peristiwa ini menempatkan kita sebagai butir butir debu tanpa daya dibawah kuasaNya. Dari kejauhan, lutut menyentuh tanah, tunduk takluk pada keperkasaan alam. Bukan amarah Tuhan sebab Tuhan tak pernah marah kepada mahluk ciptaaNya, maha Pengasih dan Penyayang. Barangkali inipun caraNya menyayangi, dengan mengetuk dinding nurani kita yang semakin tebal tertimbun kepintaran akal. Mungkin satu lagi wake up call kepada sanubari setiap manusia, bahwa setitik debu tidaklah pantas untuk bersombong diri. Bukankah lebih bijak jika kita terima itu sebagai pengingat bahwa seyogianya mahluk berakal di bumi ini mengedepankan kehidupan sesama diluar kepentinganya sendiri.

Ketakutan dan rasa kehilangan menjadi terror yang menggerayangi jiwa jiwa yang tersisa, berserak tak berdaya di tenda darurat. Hanya langit, tanah dan udaralah yang tersisa, juga kesedihan menggunung menindih jiwa. Kepedulian datang bagaikan banjir, jutaan hati mengalirkan simpati lewat udara. Keprihatinan menjadi sempurna oleh ketidak berdayaan kita untuk melakukan sesuatu yang berarti disana, meskipun sekedar mengulurkan tangan untuk pegangan bagi para korban, pertanda bahwa diri bersama mereka, meyakinkan bahwa kehidupan masih ada.

Inipun test case tersendiri bagi penyelenggara negara, pengabdi warga negara (baca; korban bencana). Hingga hari kedua, puluhan ribu nyawa yang selamat belum terurus dengan layak. Mereka semua terluka, fisik dan mental. Respon pemerintah seperti biasa; lamban!. Kesigapan raksi tanggap darurat dari pemegang kebijakan menjadi tumpul karena kepintaran berteori, menyusun ini itu, merencanakan ini itu. Pusat pusat penanganan bencana dibentuk (eh, bukankah pusat itu semestinya hanya satu???), masing masing institusi memiliki pusatnya sendiri, sementara di lapangan para korban masih harus tidur berselimut air hujan, berteman rasa takut juga lapar, sebagian terbiarkan keleleran dilingkungan rumah sakit menunggu pengobatan. Keadaan ini, menimbulkan asumsi – yang bisa jadi salah - bahwa rencana penganggulangan bencana gunung Merapi yang tempo hari terkesan amat sempurna itu ternyata hanya retorika. Sedikit banyak, kita andaikan saja bencana ini adalah akibat dari letusan gunung Merapi, maka ketahuan bahwa memang penggagas penanganan krisis itu tidak memasukkan skenario terburuk jika gunung benar benar mengamuk.

Otak awamku hanya berfikir, bahwa sistim tanggap darurat yang cepat dan efektif tentu akan sangat membantu dalam situasi ini. Pengerahan bantuan fisik dari seluruh lini negeri pada detik pertama berita itu tersiar pastinya membuat perbedaan besar. Tentara dan segala peralatan dan logistiknya semestinya diberangkatkan dari barak barak untuk penanganan pertama di tempat kejadian, menyusul kemudian relawan medis beserta bantuan logistik. Kita punya kepala badan koordinasi nasional yang juga Wapres, yang fungsinya sebenarnya adalah simpul terpenting untuk melegitimasi aksi. Apakah pendidikan perilaku yang salah, atau memang efek dari kecanggihan ilmu sosial yang menyebabkan pamong (pengasuh) anak negeri ini lebih jadi kurang punya kepekaan sense of crisis?

Tulisan ini samasekali tidak punya niat menghujat apalagi mengumpat. Hanya seandainya saja aku adalah Bakornas bencana, maka evakuasi yang segera akan menjadi prioritas utama ‘no matter what it takes’ dan pengerahan bantuan maksimal sesuai SOP yang terakreditasi canggih. Apa negara ini tidak memiliki satu standar prosedur operasi untuk sebuah skenario yang terburuk menghadapi bencana? Apa kita masih kurang belajar dari kejadian tsunami di Aceh Desember tahun lalu, gempa di Nias Maret lalu dan ribuan kali bencana sebelumya? Atau kita yang terlau sombong untuk tidak mau belajar dari kejadian kejadian itu? Kita punya Bulog, tentara, Depkes, Depsos, PU, dll yang memang ada untuk kepentingan warga negara sebagai pemegang kuasa pertama di sebuah negeri berlabel demokrasi. Ah, barangkali kesederhanaanpun menjadi hal langka di negara demokrasi? Sayang aku hanya sebutir debu di angkasa, yang dengan lutut gemetar terduduk takluk ditanah bumi, dengan isi hati dan angan angan berhamburan ke tanah bencana, berkhayal bisa berbuat sesuatu secara nyata bagi luka luka mereka.

(Kepada sahabat dan saudaraku Unai, Ratih dan puluhan ribu korban lainya;
Hang in on there,
Dilangitmu jutaan hati memayungi
Meski hanya nyeri dan takut yang kau rasa jadi penguasa
Di udaramu jutaan tangan hangat menggenggam jemarimu
Meski hanya gelap sunyi dan jerit kesakitan penemanmu
Menuju bumimu cinta yang datang dari jiwa jiwa mulia membanjir
Meski hanya pedih dan duka yang terasa olehmu
Matahari yang datang esok pagi, ladang garapan membentang bagi harapanmu
Meski hanya kehancuran yang tampak dalam pandangan

Lewat detik yang mengalir
Kutitipkan intisari do’a dan simpati dari palung sanubari
Sebab hanya itu yang sanggup ku berikan
Ketika engkau hanya bisa menerima apapun yang terjadi
Semoga ketabahan dan kekuatan baru menyertaimu, saudara hatiku…)

Gempol, ketika benderang lampu seakan padam 060528