Wednesday, October 18, 2006

Anatomi kecewa

Kekecewaan menghela hati untuk berjalan membelakangi masa depan dengan kaki menjuntai di angkasa dan darah yang serta merta menjebol ubun ubun kepala. Darah yang menggumpal dari timbunan sedimen waktu masalalu. Berharap penghianatan tidak pernah terjadi sungguh sama dengan berharap masalalu tidak pernah ada; sama sama mustahil. Semakin nampak jelas lukisan luka, semakin terasa pula perih yang meraja. Selebihnya menjadi kehidupan seolah olah, kehidupan seakan akan, dan tentu siksa yang semena mena dan amat pribadi.

Upaya apa lagi yang musti dicobakan jika kepala tak lagi berisi fikiran? Kehidupan terasa mengerucutkan keinginan dan ketidak inginan semakin melambung jauh meninggalkan alas pijakan tanah kenyataan dengan sayap sayap pengingkaran yang rajin memberontak dan berakhir dengan kesia siaan. Menerima adalah melepaskan apa yang disesali telah terjadi dan tercatat dalam buku harian riwayat diri. Mengobati luka hati punya caranya tersendiri untuk diekspresikan, yaitu dengan menyembunyikan punggung dari terpaan angin maupun hembusan udara, menyembunyikan dari terang sang matahari.

Belajar dari matahari pada jam sembilan pagi dimana embun menguap jadi misteri, adalah telaah filsafat basi bahwa hidup berjalan dalam siklus rutinnya sejak jutaan era yang telah terlampaui. Selamanya begitu begitu dan seterusnya begitu begitu saja. Sederhana. Sedangkan wujud perubahan hanya terjadi atas kuasa waktu. Menguasakan perubahan kepada jarum arloji yang berdetik pastipun selamanya membawa muatan harapan, permintaan atas rasa hati yang ideal, jauh dari aroma kekecewaan yang sama saja dengan menabur benih kekecewaan itu sendiri.

Kaki yang melangkah menjauh usahlah ditangisi, sebab tak ada satupun ayat yang bisa membuatnya berhenti menjauhi lagi. Bahkan jutaan tahunpun berisi kisah kisah yang sama juga, tentang pertemuan tentang perpisahan dan detail kejadian diantara kedua titiknya. Utamanya bagi mereka yang telah kehilangan air mata oleh sebab habis terkuras sepanjang perkelahiannya sendiri dengan sunyi setiap malamnya. Tak perlu lagi luka itu sebab sakit hanyalah soal dramatisasi rasa. Sedangkan rasa sakit selamanyapun sama. Bagitu begitu juga, begitu begitu saja, tidak berubah sejak dari sejarahnya. Kepastian yang baku tetaplah jadi misteri tanpa jawaban sampai akhirnya pengetahuan mengelupaskan kulit yang membalut kesejatian diri. Ialah jika kelak raga tergeletak tak berdaya di damai bumi bunda, disejuk tanah berdebu , dibawah rumpun bambu dimana butiran lumpur kering saling bercerita tentang kisah perjalanan menyusuri lereng bukit tanah merah, lumpur kering dari musim lalu…

Biar, lepas sudah jangkar menancap di terumbu karang, menyilakan jiwa semata wayang ditumbuhi ganggang dan menari di tempat dalam ayunan irama permainan angin harapan dan arus kekecewaan. Memang begitulah sejatinya hidup dilakonkan (?) dengan tanya yang perlahan padam. Sampai akhirnya kelak satu demi satu episode terbacakan bagi siapapun pejalan yang singgah hanya jika matahari mempecundangi gelap yang mengurung diam. Atau terlupakan begitu saja ditimbun waktu yang tak terukur dengan perkiraan...


Gempol menjelang fajar, 061018