Friday, February 10, 2006

Bunuh diri; pemberontakan atau kemenyerahan?

Ketika logika tak sanggup lagi mencerna realita, terbentur dinding tembok tinggi bernama keadaan, alam fikiran gelap pekat terkepung pesimis. Bathin berjalan bimbang mengitari tepi garis batas keyakinan dengan ribuan pertanyaan yang hanya berujung kepada ribuan pertanyaan lainya. Buntu jawaban. Mandul akal fikiran. Diri tak punya apa apa lagi untuk diharapkan, apalagi dibanggakan.

Harapan yang terputus dan mati layu membawa dorongan untuk melakukan tindakan mengambil short cut dengan menyelesaikan hidup secara ekstrem, membunuh diri sendiri dan lepas tanggung jawab dari konskwensi kehidupan. Yang terbayang adalah bahwa tidak ada lagi kehidupan selain dimuka bumi ini. Sungguh pemahaman nurani yang gersang, tapi itu berlaku mutlak terhadap sesiapapun yang memang memiliki dorongan untuk melakukan bunuh diri ketika hidupnya terkurung ditempurung pengertian yang hanya berdinding gelap, berlantai gelap dan baratap gelap.

Sebermula dorongan untuk bunuh diri itu timbul dari kebutuhan akan empati dari sekitar, dimana diri mengharap agar orang melihat, mendengar dan merasakan apa yang sedang terjadi dialam bathin. Kebutuhan itu menemui jalan buntunya, tak mendapat pemenuhan. Yang terjadi tentu kekecewaan, kemudian berkembang menjadi rasa kesendirian dimuka bumi. Betul betul sendiri harus menghadapi kekecewaan, menghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan pengharapan, sementara celah untuk memberontak samasekali tak ditemukan. Buntu. Orang orang terdekat dalam kehidupanya serasa menjauh dan diri merasa dijauhkan dari kehidupan, semakin terpencil dalam alam bathin yang berbadai dan memelas pada diri sendiri, dan pada saat yang sama kehabisan akal untuk menolong dirinya dari keadaan yang menyergap.

Bunuh diri dipilih sebagai perlawanan yang sangat ekstrim terhadap kenyataan. Sebuah penolakan yang sangat tragis kepada keadaan yang harus dihadapi. Kekuatan batin setiap orang tidaklah sama dan memilih bunuh diri adalah pemberontakan terakhir yang dimiliki sebagai symbol perlawanan, penolakan terhadap kemungkinan masadepan, yang didalam kepala kemungkinan itu hanya berisi satu hal; ketidak mungkinan!

Orang terdorong untuk melakukan bunuh diri juga karena menyerah dengan keadaan seperti tertulis pada paragraf diatas. Rasa malu dan tak berdaya yang berlebihan menjadi faktor faktor pendorong terjadinya bunuh diri. Kemudian menyerah, merasa tak sanggup lagi melawan atau merubah keadaan selama hidup masih dijalankan, lalu memilih untuk berhenti hidup dan berhenti bertanggung jawab atas segala laku hidup yang pernah dijalani, maka semua selesai tak lagi ada perhitungan perhitungan yang harus dipertanggung jawabkan bagi peradaban. Anggapanya adalah bahwa berhenti dari kehidupan berarti berhenti menanggung ‘beban’ yang dari hidup yang dijalani. Padahal kalau mau sedikit saja menyadari, bahwa ‘beban’ tersebut hanyalah konskwensi dari pilihan yang diambil dalam menjalani kehidupan. Haih…rumit!

Orang pada akhir ‘perjuangan’ hidupnya memilih bunuh diri, adalah orang yang memiliki bangunan rohani yang rapuh, tandus dari keimanan dan kepercayaan tentang semesta, tentang Tuhan. Orang yang berpemahaman bahwa hal hal duniawi adalah segalanya, bahwa peradaban tidak mengikut sertakan dirinya untuk berperan karena berbagai keterbatasan kemampuan. Materialistik.

Pada akhirnya, bunuh diri menjadi pililhan terakhir untuk melawan keadaan yang tidak sesuai keinginan atau harapan yang sekaligus menjadi cara mengasihani diri paling sempurna, menyerah terhadap kehidupan peradaban hanya karena merasa diri tidak layak menerima apa yang diberikan kehidupan. Sungguh, orang orang seperti ini adalah golongan orang orang yang kufur.


Gempol – Simatupang, 060210