Tuesday, March 14, 2006

….dan ….

Badai dilangit hati perlahan menepi, diam diam menyisakan keletihan dan keperihan yang menjadi sia sia untuk dicari muasalnya. Dia yang datang ketika gelap menyekap dulu, perlahan menghitung gores demi gores luka yang kelihatan mata. Dia datang untuk membuktikan bahwa disetiap mendung selalu ada garis keperakan sebagai janji akan datangnya kecerahan, bahwa mendung dan hujan badai dihadirkan sebagai penegas keindahan sesudahnya.

Tangan lembutmu memapah berdiri, bangkit dan melangkah menjejaki tangga rumah kita dibalik langit ketika senja datang mengurung. Sendi sendi masih ngilu, dengan beban masalalu melekat dipunggung dan betis kaki. Mulut mungilmu bercerita tentang warna warni lukisa yang pernah kita buat dan kita tinggalkan ditebing gua dimana kita berlindung dari kejinya alam nyata. Mulut mungil yang selalu menaburkan cerita hati, bukan keinginan apalagi ketidak inginan.

Pernah kutitipkan hatiku padamu, dengan bungkus kesementaraan yang sama sama kita sepakati hingga aku tersesat dikedalaman lain lagi. Tersesat tanpa tahu kemana harus kembali, atau kemana harus menuju. Aku hanya tahu berlari dan terus berlari menghindari matahari yang keji membakar, dan berlari menghindari gelap malam yang kejam mengurung. Ya, aku berlari menghindari hingga tak sanggup lagi menghindar kecuali menipu diri dengan segala penghiburan pribadi.

Dibalik langit biru bening itu, engkau tawarkan lagi padaku mantera mantera penegak hati, sedangkan kedua kakiku tertancap erat dibeton yang mengeras ketika kesadaranku hilang dibungkam oleh bius nurani. Bahkan setumpuk naskah catatan kitapun aku kini sulit mengejanya, menerawangkan rasanya ketika itu. Aku kehilangan ketrampilanku untuk mengumpulkan lagi satu demi satu serpihan kehidupanku dulu.

Atau, barangkali memang badai panjang itu telah merubah wujudku menjadi sepotong kabut…

(kepada sesorang, yang pernah menggenggam erat tanganku jadi pegangan ketika angin badai menerjang dulu…terimakasihku tak terhingga buatmu)

Cubicle, 060313