Wednesday, July 02, 2008

Pupuk Bawang

Siapa itu duduk di sudut tenggara? Murah senyum seperti sakit gila?!

Atas nama basa basi, pantat tertancap di sebuah kursi. Berharap arloji melaju lari, ternyata udarapun mati tak menghasilkan gagasan apa apa. Arwah meniggalkan badan, terbanting di keras batu granit berlapis karpet di “Diamond Room”. Menjelempah menjadi kepingan kepingan yang tidak membentuk sebuah identitas. Jasad bahkan tak mengenali lagi siapa diri, dan kenapa bisa terjebak sampai kemari. Dentam musik dan gelak tawa, menjadi symbol atas keramaian pesta raya. Sebidang ruangan menjelma menjadi planet asing yang mengkerdilkan nyali. Tersesat pencarian hati, bahkan tak menemukan jalan pulang.

Ruangan ini menghadirkan kerinduan pada kesunyian. Ketika fikiran menjadi raja atas badan, dan alam semesta hidup dalam harmoni, dimana diri menjadi renik hidup sebagai bagian dari stakeholder jagad raya. Sunyi menegaskan bahwa hidup adalah keindahan seni itu sendiri. Keindahan yang memanjakan fikiran, mengesampingkan perbedaan dan ketidak samaan. Menerima keadaan diruangan ini sama halnya dengan menyuntikkan racun pada syaraf syaraf kesadaran yang selalu setia menegaskan jati diri. Menunggu hingga riuh berhentipun rasanya hanya semakin bodoh membodohi diri sendiri. Kerling mata indah yang semestinya menggoda iman lelaki, kali hanya tatapan sekilas atas nama ketidak sengajaan belaka.

Begini rupanya tata adat pergaulan Jakarta. Boneka boneka cantik bukan kepalang, tidak menyisakan celah sedikitpun untuk melihat alam pikirannya. Masa lalu dan pengalaman seperti apa yang menjadi harta kekayaan mereka, dan mengertikah mereka bahwa mereka bisa terpesona jika melihat alam pikiran si penanya. Reputasi ternyata tidak diakui berlaku disini. Benar kata Pramnoedya, bahwa setiap orang Jakarta membangun tembok tinggi disekeliling individunya, hanya menyisakan jendela jendela untuk mengintip, tak sepenuhnya membaur larut dalam hidup pribadi. Hanya sederet atas nama, lalu pekerejaan, pengetahuan, daya pesona dan ujung ujungnnya pasti uang. Demikianlah harapannya.

Sangkakan diri adalah berarti, ternyata kosong belaka buah harapan mimpi. Bahkan menjadi runner up, sekalipun masih terlalu jauh dari bumi kenyataan. Rasa malu melemparkan badan keluar ruanngan, melaju dalam deru angin setelah sekian jam hidup menjadi sia sia, kembali menjadi manusia dengan nama dan wujud yang sejatinya. Sebuah pelajaran hidup mendewasakan diri hari ini, cermin raksasa yang menyodorkan kenyataan sampai ke balik retina mata. Menjadi nomor dua bisa jadi adalah prestasi pribadi, tetapi menjadi nomor dua dari belakang tidak ubahnya karakter yang mati kaku ditelan peradaban.

Aku rindu kembali kepada sunyi…duniaku yang sejati.

Jakarta - Surabaya, 080630